Rabu, 22 Juli 2015

KH, AHMAD DAHLAN DAN BERDIRINYA MUHAMMADIYAH.

Biografi K.H Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Nama kecil K.H Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, K.H Muhammad Sulaiman, K.H Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).[2]
Pada umur 15 tahun,  Muhammad Darwis pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Muhammad Darwis mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Sepulang dari Mekkah, K.H Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu K.H Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3]

       Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Kauman, sebuah daerah di kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, sekitar 500 meter ke arah selatan dari ujung kawasan Malioboro. Ditempat inilah Muhammadiyah lahir pada 8 Dzulhijjah 1330, bertepatan dengan tanggal 18 November 1912. Maksud dan tujuannya ialah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya.[4] Faktor-faktor lain yang mendorong K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah antara lain:
1.      Ajaran Islam dilaksanakan tidak secara murni bersumberkan Al Qur’an dan Hadist, tetapi tercampur dengan perbuatan syirik dan khurafat.
2.      Lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak lagi dapat memenuhi tuntunan zaman, akibat dari terlampau mengisolir diri dari pengaruh luar.
3.      Keadaan umat yang sangat menyedihkan dalam bidang sosial, ekonomi, politik, kultural, akibat adanya penjajahan.[5]
Semangat yang ditunjukan Muhammadiyah yang lahir untuk mementingkan pendidikan dan pengajaran yang berdasarkan Islam, baik pendidikan di sekolah/madrasah ataupun pendidikan dalam masyarakat. Maka tidak heran sejak berdirinya Muhammadiyah membangun sekolah-sekolah/madrasah-madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh, bahkan juga menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah yang berdasarkan islam. Diantara sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan jasanya ialah:
1.      Kweekschool Muhammadiyah Yogya.
2.      Mu’allimin Muhammadiyah, Solo, Jakarta.
3.      Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta.
4.      Zu’ama/Za’imat Yogyakarta.
5.      Kuliyah Mubaligin/mubalighat, padang panjang.
6.      Tablighschool Yogyakarta.
7.      H.I.K Muhammadiyah Yogya.
Dan masih banyak lagi sekolah/madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah ini, semua sekolah/madrasah ini didirikan pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, yang tersebar pada tiap-tiap Cabang Muhammadiyah seluruh kepulauan Indonesia.
Pada masa Indonesia merdeka Muhammadiyah mendirikan sekolah/madrasah berlipat-lipat ganda banyaknya dari masa penjajahan Belanda dahulu. Jika di jumlahkan ada 682 buah Madrasah dan 877 buah Sekolah Umum dan totalnya 1559 buah madrasah dan sekolah umum.[6]
Mula-mula K.H Ahmad Dahlan memberi pelajaran agama islam di Kweekschool Jetis, sekolah guru pada zaman penjajahan Belanda meskipun pelajaran itu hanya diberikan diluar pelajaran-pelajaran yang formal. Sistem yang beliau gunakan sudah sangat pedagogis. Di samping memberikan pelajaran islam di Kweekschool. K.H Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah yang sebagian mengikuti teknik sekolah-sekolah kursi, meja, kapur dan lain-lain tetapi diberi juga pelajaran agama. Disamping itu didirikan juga madrasah-madrasah yang merupakan modernisasi dari pesantren-pesantren yang telah ada kitab-kitab, metode mengajarnya, latihan dan ujian diambil dari sekolah model barat. Dengan demikian Muhammadiyah berhasil mendekatkan dua golongan  rakyat, yakni kaum intelek Indonesia yang memperoleh didikan model Barat dengan rakyat dengan rakyat selebihnya yang melulu mendapatkan pelajaran agama, dua golongan yang sudah mulai terpisah dan tercerai.[7]
Muhammadiyah telah mengadakan pembaharuan pendidikan agama dengan jalan modernisasi dalam sistem pendidikan, menukar sistem pondok pesantren dengan sistem pendidikan yang modern yang sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman. Mengajarkan agama dengan ceera yang mudah difaham, didaktis, dan pedagogis, selalu menjadi pemikiran dalam Muhammadiyah.          
            Selain jasa di bidang pendidikan, ada pula usaha dan jasa-jasanya yang besar lainya yaitu : mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut mestinya. Umumnya masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap ke jurusan timur dan orang-orang sembahyang di dalamnya menghadap kearah barat lurus. Padahal kiblat yang sebenarnya menuju Ka’bah dari tanah jawa haruslah miring ke arah utara ± 24 derajad dari sebelah barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falak itu orang tidak boleh menghadapa kiblat menuju barat lurus, melainkan harus muring ke utara ± 24 derajad. Oleh sebab itu K.H Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri, supaya menuju arah kiblat yang betul. K.H Ahmad Dahlan juga mengajarkan agama islam secara populer, bukan saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain seperti mendatangi berbagai golongan bahkan dapat dikatakan bahwa K.H Ahmad Dahlan adalah bapak mubalik islam di jawa Tengah. K.H Ahmad Dahlam memberantas bit’ah-bit’ah dan khurafat serta adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran agama islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar