Keprihatinan kami sebagai pecinta dan penyelamat cagar budaya khususnya yang ada di Jember makin mendalam tatkala berada di Situs Beteng yang berlokasi di Dusun Beteng Desa Sidomekar Kecamatan Semboro.
Apa yang semula tergambar di benak kami tentang keberadaan sebuah
benteng utuh yang berdiri kokoh, tidak sesuai harapan. Karena bekas
beteng (benteng) yang diperkirakan dibuat pada masa akhir kebesaran
Majapahit sekitar tahun 1477 itu kini sudah hampir sirna. Tinggal
pondasi batu bata merah besar yang menjadi ciri khas bangunan era
Majapahit dan beberapa lagi yang sudah tidak utuh dan masih berserakan
di sekitar benteng. Berdasarkan penelitian pada awal ditemukannya bekas
bangunan, panjang benteng itu diperkirakan antara 6- 8 kilometer ke arah
timur dan selatan. Pada bangunan utama (semacam bangsal atau paseban)
ditemukan bekas beberapa ruang (kamar) dengan ketebalan batu bata besar
sekitar 80 centimeter. Semula bangunan itu terhubung sampai ke daerah
Kuto Kedawung Desa Paleran Kecamatan Umbulsari. Mengingat banyaknya
ditemukan fondasi batu bata yang terpendam serta keberadaan 6 buah sumur
kuno yang di sekitar bangunan benteng.
Di Situs Kuto Kedawung Paleran yang menjadi bagian dari beteng keberadaan bangunan sudah tidak tampak lagi karena tertutup oleh persawahan milik penduduk. Struktur batu bata sudah dirusak oleh tangan-tangan jahil dan secara perlahan mulai raib tidak ketemu rimbanya.
Tidak mustahil bila bekas bangunan itu adalah benteng pertahanan yang melingkari "kota baru" yang dibuat dalam rangka mempertahankan diri dari serangan musuh. Ketebalan batu bata serta beberapa artefak yang berhubugan dengan kepentingan militer dan keberadaan beberapa buah sumur sebagai sarana logistik menunjukkan indikasi yang tidak bisa dipungkiri.
Pohon beringin besar yang biasanya selalu tumbuh berdampingan dengan
bekas bangunan bersejarah, tampak menghiasi pelataran dekat tempat penyadranan (ritual) benteng. Sehingga pohon yang disebut asoka atau bramastana
itu sempat membingungkan pengunjung benteng karena mendominasi di
lokasi tersebut. Pohon itu bisa-bisa dianggap obyek utama karena tidak
tampaknya onggokan bekas bangunan beteng yang sebenarnya. Apa yang
kelihatan hanya beberapa tinggalan berupa artefak seperti
beberapa alu dan lesung batu yang digunakan untuk meracik obat-obatan
untuk prajurit yang terluka dalam pertempuran. Beberapa lumpang, batu
pipisan, batu gunjik, kalung manik-manik, pahoman (pedupaan) dan
serpihan batu andesit dan terakota. Keberadaan pedang kangkam pamor kencana peninggalaan Prabu Brawijaya V (Bhraa Kertabhumi ?) yang sering diberitakan itu tidak tampak kelihatan.Di Situs Kuto Kedawung Paleran yang menjadi bagian dari beteng keberadaan bangunan sudah tidak tampak lagi karena tertutup oleh persawahan milik penduduk. Struktur batu bata sudah dirusak oleh tangan-tangan jahil dan secara perlahan mulai raib tidak ketemu rimbanya.
Tidak mustahil bila bekas bangunan itu adalah benteng pertahanan yang melingkari "kota baru" yang dibuat dalam rangka mempertahankan diri dari serangan musuh. Ketebalan batu bata serta beberapa artefak yang berhubugan dengan kepentingan militer dan keberadaan beberapa buah sumur sebagai sarana logistik menunjukkan indikasi yang tidak bisa dipungkiri.
Konon menurut juru kunci benteng Ngabdul Gani, pedang itu telah moksa (lenyap secara gaib). Pusaka yang ada sekarang hanya berupa keris pusaka Kiai Omyang yang masih dipegang olehnya dan ditunjukkan pada kami. Selain itu peninggalan penting lainnya adalah berupa sumur kuno dengan di-plengseng susunan batu merah era Majapahit meskipun pada bibir sumur di-plester semen untuk menjaga kekuatannya. Berdasarkan buku tamu yang dipegang juru kunci, bekas peninggalan bersejarah itu lebih banyak dimanfaatkan untuk ritual para peziarah yang datang untuk sambung do'a, bernadzar, mengambil air sumur dan daun pohon beringin untuk tujuan ngalap berkah. Hanya beberapa gelintir yang mengadakan sigi untuk penelitian sejarah.
Kami berdiskusi dengan tim ketika mengamati tempat penyadranan, yaitu seandainya diadakan ekskavasi (penggalian) yang melibatkan arkeolog tidak menutup kemungkinan adanya terowongan dan ruang bawah tanah atau labyrint yang menghubungkan benteng dengan hutan sekitar atau sungai. Lorong tersebut sebagai jalan rahasia untuk menyelamatkan raja dan keluarganya bila terjadi situasi darurat atau bila benteng terkepung dan diduduki musuh. Kemungkinan hal itu ada kemiripan dengan ruang bawah tanah Situs Kedaton dan Sumur Upas yang ada di Trowulan Mojokerto. Dengan asumsi bila benar itu bangunan benteng, tak akan lepas dari keberadaan ruang bawah tanah, terowongan, penjara bawah tanah, gudang senjata dan sebagainya. Bangunan benteng yang dibangun dengan bata merah dan direkatkan dengan cara digosokkan, berhubungan dengan bangunan kuno yang ada di Desa Paleran Umbulsari yang sekarang sudah tidak tampak akibat dijadikan persawahan penduduk.
Menurut Ngabdul Gani, situs beteng yang ditemukan tahun 1939 dengan ketinggian 2,5 meter itu mengalami pengrusakan parah dan aksi vandalisme tahun 1968 pasca peristiwa Gestapu (G30S/PKI 1965) oleh massa mahasiswa yang mengatasnamakan KAMI/KAPPI. Kalau itu memang benar mahasiswa yang notabene kaum intelektual, mengapa benda bersejarah yang secara otomatis tempat mereka mengadakan penelitian dirusak ? Atau mengapa masyarakat juga menjadikan benteng yang "melongo" itu menjadi sasaran amuk ?
Kalau hanya pelampiasan karena marah dan jengkel pada ulah kaum komunis pada saat konflik sektarian, tidaklah pada tempatnya mengganyang bangunan tersebut. Tindakan anarkhis mereka tidak sepatutnya dialamatkan pada bangunan yang didirikan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) saat dikejar-kejar tentara Raden Patah dari Kerajaan Demak itu .
Sebenarnya konflik antara Raden Patah dengan Brawijaya bukan perang agama, tapi terkait dengan suksesi dan hegemoni kekuasaan politik. Sebagaimana telah menjadi semacam kelaziman di tiap kerajaan, intrik politik, perang dan pembunuhan sudah biasa terjadi. Dalam peristiwa ontran-ontran Kerajaan Demak yang Islam melawan Majapahit yang Syiwa-Budha, justru di pihak Majapahit dipimpin beberapa senapati dan panglima perang beragama Islam. Di antaranya adalah Raden Kusen murid dari Raden Rahmat (Sunan Ampeldenta) yang merupakan adik kandung Raden Patah (Panembahan Jimbun - Sultan Demak). Peristiwa tersebut menghadapkan kakak-adik Raden Patah versus Raden Kusen di medan perang. Raden Patah sendiri merupakan keturunan dari Brawijaya V dengan puteri Aria Damar dari Palembang.
Peristiwa pengrusakan pada Situs Beteng pada tahun 1968 berlanjut hingga sekarang. Meskipun pengrusakan sekarang tidak pada skala masif dan aksi vandalisme, namun bongkahan batu bata kualitas tinggi itu pelan-pelan raib digondol maling, atau dibawa orang untuk berbagai keperluan serta berada di tangan para kolektor.
Sangat disayangkan sekali perhatian Pemkab Jember dalam hal ini Dinas Kebudayan dan Pariwisata atau instansi terkait, karena tidak ada tindakan konkrit dalam menyelamatkan Situs Beteng dan situs-situs lainnya seperti Candi Deres, Situs Kutho Kedawung dan Situs Gondosari. Semuanya adalah situs-situs bernilai penting peninggalan Kerajaan Majapahit yang ada di Jember. Hingga kini keberadaan semua situs itu nyaris sirna, tergerus "tangan-tangan jahil" bahkan ada yang sudah terkubur seperti Situs Kutho Kedawung di Paleran dan Situs Gondosari di Tamansari Wuluhan.
Sebagai komunitas pecinta sejarah, Bhattara Saptaprabhu telah mengadakan bhakti sosial guna menjaga dan menyelamatkan situs kuno yang dilindungi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya tersebut. Di antaranya adalah dengan mengumpulka batu bata yang berserakan dan benda-benda lainnya, serta memasang papan nama (nambor/banner) dan denah bangunan. Karena tanggung jawab pelestarian warisan nenek moyang itu ada pada generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar