Kamis, 23 Juli 2015

PERAN GUS DUR DALAM MISI PERDAMAIAN ISRAEL-PALESTINA.

Pada tahun 1994 Gus Dur dan
beberapa orang temannya diundang oleh Perdana Menteri Israel, Yitzhak
Rabin, untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel
dan Yordania. Dalam buku berjudul Damai Bersama Gus Dur Djohan Effendi
menulis bahwa ketika berkunjung ke Israel Gus Dur menyempatkan diri
bertemu dengan sejumlah warga negara Israel baik dari kalangan
orang-orang Yahudi maupun dari kalangan orang-orang Arab Muslim dan
Kristen. Gus Dur juga merasakan adanya hasrat damai yang kuat dari warga
Israel, bahkan mereka mengatakan kepada almarhum Gus Dur: “Hanya mereka
yang berada dalam keadaan perang yang bisa merasakan apa mana kata
damai”.

Setelah mendengar curahan hati rakyat Israel inilah KH.
Abdurrahman Wahid menjadi tersentuh dan tergerak nuraninya untuk
mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina secara jujur dan adil
dengan mengedepankan win-win solution. Dalam artikel berjudul “RI
Dilamar Jadi Mediator Konflik Palestina – Israel,” Derek Manangka
menulis bahwa Indonesia dan Israel telah membuka komunikasi informal
jauh sebelum Gus Dur berkunjung ke Israel, yakni melalui kunjungan tidak
resmi Perdana Menteri (PM) Yitzhak Rabin ke kediaman pribadi Presiden
RI kedua, H. Muhammad Soeharto, di jalan Cendana, Jakarta, pada bulan
Oktober 1992. Kunjungan ini bertujuan meminta jasa baik Indonesia
sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok (GNB) untuk menjembatani konflik
Palestina – Israel.

Menurut Derek, pertemuan tersebut menjadi
sangat sensitif dan kontroversial bagi rakyat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam, apalagi RI juga tidak pernah mengakui eksistensi negara
Israel dan tidak pula memiliki hubungan diplomatik dengan Israel
sehingga tidak mungkin terjadi pertemuan tete a tete (pertemuan dua
kepala pemerintahan) antara kedua negara. Tiga hari pasca pertemuan
antara PM Rabin dengan Presiden Soeharto, Gus Dur pun menanggapi
pertemuan kontroversial tersebut dengan memberikan komentar yang
meskipun datar namun tetap kritis. “Tidak ada demonstrasi. Di
kampung-kampung, masjid-masjid, semuanya tenang-tenang saja. Memang ada
yang marah-marah tetapi kita lihatlah bagaimana reaksi masyarakat
selanjutnya,” ujar Gus Dur kepada jurnalis stasiun televisi British
Broadcasting Channel (BBC) di Indonesia (Wawancara, 18-10-1993).

Gus
Dur juga berpendapat bahwa Yitzhak Rabin perlu bertemu dengan Suharto
karena dua hal utama. Pertama adalah posisi Soeharto sebagai Ketua
Gerakan Non-Blok, dan Kedua terkait erat dengan persoalan internal
negara-negara Islam. Hingga saat ini masih banyak negara-negara Islam
yang tidak menyetujui perjanjian damai antara Perdana Menteri Israel,
Yitzhak Rabin, dari Israel dengan Presiden Palestina, Yasser Arafat.
Adapun mengenai isu hubugan diplomatik dengan Israel, Gus Dur
menyatakan: “Indonesia dalam berhubungan dengan Israel hendaknya jangan
membuat teman baru dengan meninggalkan teman lama. Masih banyak negara
Islam yang memusuhi Israel. Selain itu hubungan diplomatik bukan
satu-satunya cara bagi Indonesia untuk berhubungan dengan Israel”.

Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa di tahun 1992 almarhum Gus Dur setuju
dengan suatu hubungan interaktif antara RI dan Israel namun tidak dalam
bentuk hubungan diplomatik antara kedua negara, melainkan dalam bentuk
hubungan dagang, hubungn militer, atau jenis hubungan lainnya. Saat itu
almarhum Gus Dur juga memperingatkan pemerintah RI agar jangan sampai
hubungan interaktif dengan Israel mengorbakan persahabatan RI dengan
negara-negara Islam lainnya, karena masih banyak yang memusuhi dan tidak
mengakui kedaulatan Israel. Meskipun demikian Gus Dur juga setuju
dengan keinginan pemerintah RI untuk turut aktif berperan serta dalam
mewujudkan perdamaian abadi antara Israel dan Palestina.   

Hubungan
dagang antara Indonesia dan Israel yang digagas oleh KH. Abdurrahman
Wahid sepenuhnya bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan
kesejahteraan bangsa Indonesia serta sebagai media bagi RI untuk
terlibat penuh dan ikut serta secara aktif dalam upaya mewujudkan
perdamaian antara Israel dan Palestina. Dalam percakapan antara Gus Dur
dengan Presiden Soka Gakkai Internasional, Daisaku Ikeda, mantan
presiden RI keempat itu mengungkapkan beberapa alasan utama yang menjadi
latar belakang kebijakannya agar Indonesia membuka hubungan perdagangan
dengan Israel.

“Saya selalu berpikir, selama ini negara kami
telah lama berhubungan dengan Uni Soviet dan China yang tidak
mengizinkan warga negaranya memeluk agama. Saya menganggap perlu
diusahakan mencari kunci pembinaan hubungan dengan negara manapun, tanpa
memandang bagaimana latar belakang masa lampau, maupun seberapa jauh
kesulitan masalah yang ada diantara negara tersebut dengan negara kami,”
ujar Gus Dur kepada Daisaku Ikeda sebagaimana tertulis dalam buku KH
Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda, Dialog peradaban untuk Toleransi
dan Perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa Gus Dur ingin agar Indonesia
melakukan hubungan interaktif dan bekomunikasi secara aktif kepada
seluruh negara yang ada di dunia ini tanpa kecuali, baik dalam bentu
hubugan diomatik, hubungan dagang, hubungan militer maupun jenis
hubungan-hubungan antar negara lainnya.

Apalagi Israel bukanlah
negara atheis seperti hal-nya China, Vietnam, Kuba, Korea Utara, dan
Uni Soviet melainkan negara demokrasi yang secara formal berbentuk
sekuler tetapi sangat dipengaruhi oleh peradaban agama yahudi, sehingga
dari sudut pandang ini tidaklah bertentangan dengan Pancasila. “Bahkan
selama ini saya telah berulang kali mengadakan kunjungan ke Israel,
walaupun saya mengetahui adanya berbagai penentangan dan kritikan,” ujar
Gus Dur kepada Daisaku Ikeda. Almarhum Gus Dur memang dikenal publik
termasuk pihak yang pernah beberapa kali berkunjung ke Israel guna
mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina serta membina hubungan
kultural, religius, budaya dan akademis dengan Israel demi seutuhnya
kepentingan bangsa Indonesia.

Peran aktif almarhum Gus Dur dalam
mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel terlihat jelas dari
keikutsertaan almarhum Gus Dur sebagai anggota dan pendiri Yayasan
Shimon Peres (Shimon Peres Foundation). Menurut Juru Bicara Kepresidenan
di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Wimar Witoelar, Yayasan Shimon
Peres didirikan untuk menciptakan perdamaian di dunia, inilah sebab
mengapa Gus Dur bersedia menjadi salah satu pendiri Yayasan Shimon Peres
jauh sebelum menjadi Presiden RI. “Keberadaan Presiden Wahid di yayasan
tersebut justru karena beliau konsisten untuk memperjuangkan
perdamaian. Gus Dur mengenal orangnya dan tulisan Shimon Peres. Justru
dari orang-orang semacam itu diharapkan lahir bibit-bibit perdamaian,”
ujar Wimar Witoelar kepada media sebagaimana ditulis oleh “Koran Kompas”
pada 16 Oktober 2010. 

Wimar Witoelar juga menyatakan bahwa
dalam masalah Palestina Indonesia bersikap mendukung perjuangan rakyat
Palestina. “Saat ini mengatasi konflik memang perlu tetapi lebih perlu
lagi adalah meletakkan dasar-dasar perdamaian untuk masa depan di
Palestina dan Israel. Soal Yayasan Shimon Peres tidak perlu
dibesar-besarkan karena hal ini tidak ada hubungannya dengan kebijakan
pemerintah Israel atau Zionisme,” ungkap Wimar Witoelar. Dengan demikian
keterlibatan aktif Gus Dur sebagai pendiri dan anggota Yayasan Shimon
Peres merupakan bagian dari ikhtiar almarhum untuk mewujudkan perdamaian
abadi antara Palestina dan Israel. Hal ini karena sejak awal
didirikannya Yayasan Shimon Peres bertujuan untuk menciptakan perdamaian
dunia dan tidak terkait dengan kebijakan pemerintah Israel atau pun
zionisme.

Ketika bertemu dengan Presiden Palestina, Yasser
Arafat, dalam sebuah kunjungan kenegaraan resmi ke Indonesia, Presiden
Abdurrahman Wahid selaku Kepala Negara menegaskan bahwa Indonesia
terikat kepada keputusan yang dulu, yaitu hak untuk mencapai perdamaian
di Palestina, terserah pada orang-orang Palestina sendiri. “Yang dalam
hal ini tentu diwujudkan dalam bentuk keputusan-keputusan atau
konferensi OKI, PBB, dan lain-lain,” ujar Presiden Wahid saat jumpa pers
bersama Yasser Arafat. Kepala Negara juga menyatakan: “Bukan saya
mendukung, tetapi hal itu akan ditentukan oleh keputusan negara-negara
organisasi Konferensi Islam (OKI) dan resolusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB),” ketika ditanya oleh wartawan mengenai apakah
Presiden Wahid mendukung kemerdekaan negara Palestina, sebagaimana
ditulis oleh “Koran Kompas” pada 17 Agustus 2000.

Pernyataan
resmi Presiden Wahid bahwa “Bukan saya mendukung, tetapi hal itu
(kemerdekaan Palestina) akan ditentukan oleh keputusan negara-negara OKI
dan resolusi PBB,” jelas menunjukkan bahwa yang memiliki legitimasi
secara legal-formal untuk menentukan dukungan terhadap kemerdekaan
Palestina bukanlah dirinya pribadi selaku Kepala Negara RI. Pemilik sah
legitimasi tersebut adalah negara-negara anggota OKI melalui hasil
keputusan OKI dan negara-negara anggota Majelis Umum PBB melalui
keputusan resolusi PBB, dimana RI merupakan salah satu anggota aktif OKI
dan juga PBB.

Dengan demikian Presiden Wahid, secara tersirat,
bermaksud menerangkan bahwa RI sebagai negara anggota OKI dan PBB akan
turut aktif mendukung apa pun keputusan bangsa Palestina terhadap proses
perdamaian di Palestina, yang diwujudkan melalui keputusan-keputusan
OKI maupun resolusi-resolusi PBB. Jadi bukan dirinya pribadi sebagai
kepala negara yang akan mendukung kemerdekaan Palestina, melainkan
negara RI yang akan selalu mendukung apa pun keputusan-keputusan OKI dan
resolusi-resolusi PBB terhadap kemerdekaan Palestina.

Terkait
dengan hal ini Menteri Luar Negeri RI, Prof. Alwi Abdurrahman Shihab,
Ph.D menjelaskan bahwa rencana pembukaan hubungan dagang dengan Israel
semata-mata untuk kepentingan bangsa untuk pemulihan ekonomi. “Pemulihan
ekonomi harus kita capai dengan segala cara. Tetapi bukan dengan
menjual prinsip-prinsip kita,” kata Alwi dalam pertemuan dengan pengurus
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Pusat. Beliau juga menyadari bahwa
persoalan hubungan dengan Israel itu sangat sensitif. “Tetapi kita harus
mulai. Kita harus pragmatis. Kita harus rasional. Pengusaha yang
pragmatis dan rasional itulah yang akan maju,” tegas Alwi sebagaimana
dikutip oleh “Koran Tempo” dalam artikel berjudul “Alwi Shihab: Tidak
Surut Meski Diprotes”.

Terkait isu hubungan diplomatik dengan
Israel, Alwi Shihab menyatakan bahwa rencana pembukaan hubungan dagang
dengan Israel sama sekali tidak mengurangi prinsip-prinsip dasar
Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina. Dan hubungan
itu, menurut Alwi, hanya sebatas hubungan dagang saja, tidak sampai
hubungan diplomatik. “Karena kita masih menganggap Israel belum
memberikan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada Palestina,” tegas
Alwi Shihab.

Dari pemaparan tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai kebijakan politik luar negeri RI sebagai berikut:

Pertama,
pemerintah RI tidak akan pernah membuka hubungan diplomatik dengan
Pemerintah Israel selama Pemerintah Israel masih belum mengembalikan
hak-hak Bangsa Palestina yang dirampas secara paksa oleh Pemerintah
Israel.

Kedua, pemerintah RI akan bekerja keras dan
berjuang secara maksimal untuk melakukan pemulihan ekonomi negara,
dengan segala cara (secara rasional dan pragmatis) tanpa mengorbankan
atau pun menjual prinsip-prinsip yang selama ini dipegang teguh oleh
pemerintah RI sesuai dengan Undang-Undang dasar 1945 dan Pancasila.

Ketiga,
pemerintah RI akan membuka hubungan dagang dengan Israel sebagai salah
satu cara untuk memulihkan ekonomi Indonesia tanpa pernah sedikit pun
mengurangi prinsip-prinsip dasar Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak
bangsa Palestina.

Keempat, pemerintah RI akan berusaha
sungguh-sungguh untuk ikut serta secara aktif dalam upaya-upaya
mewujudkan perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, termasuk
menjadi penengah yang baik dan diakui kapabilitas dan kredibilitasnya
oleh kedua belah pihak, baik oleh Palestina maupun Israel. Adanya
hubungan dagang dengan Israel akan digunakan sebagai celah atau pintu
masuk bagi pemerintah RI untuk mewujudkan rencana perdamaian tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar