Berbicara
tentang sejarah memang tidak pernah lepas dari kepentingan sang penutur serta
penulis sejarah. Banyak opini sejarah yang berkembang di masyarakat luas
merupakan buah “pelintiran” sejarah. Pelintiran-pelintiran tersebut bukanlah
tanpa tujuan, tetapi pelintiran tersebut bertujuan untuk melanggengkan
kepentingan sang penutur dan penulis sejarah. Oleh sebab itu, dalam kata pengantarnya
KH A Mustofa Bisri mengingatkan kita untuk selalu membaca sejarah tanpa adanya
tendensi. Banyak kekacauan yang terjadi di tanah air selalu dikaitkan dengan
soal agama, namun bagi Gus Mus, kekacauan tersebut merupakan buntut persoalan
akibat adanya kepentingan politik dan kekuasaan yang selalu melibatkan Tuhan
untuk melegitimasi kepentingannya. Dari sinilah sejarah perlu diluruskan.
Pelurusan
sejarah sangat penting dilakukan salah satunya terhadap Syaikh Abdul Jalil atau
yang sering disebut Syaikh Siti Jenar, salah seorang tokoh sufi tanah Jawa abad
ke-16 yang dianggap kontroversial. Dianggap kontroversial sebab opini yang
berkembang di masyarakat ajarannya distigmakan sebagai bid’ah yang sesat.
Menurut sumber historiografi sejenis babad, Syaikh Siti Jenar disidang dan
dinyatakan bersalah serta dijatuhi hukuman mati. Namun, sumber-sumber tersebut
justru menyulut kontroversi yang sangat membingungkan. Pasalnya menurut
kronologi waktu, tokoh-tokoh yang disebut sebagai anggota sidang Dewan Wali
seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Patah dan SunanAmpelsudah meninggal
belasan bahkan puluhan tahun sebelum peristiwa itu terjadi. Lebih membingungkan
lagi, Sunan Giri dalam kasus itu mengatakan bahwa Syaikh Siti Jenar kafir
menurut manusia tetapi mukmin menurut Allah. Sementara Sunan Kudus sangat
menghormati dan memuliakan Syaikh Siti Jenar. Bahkan lebih anehnya lagi
disebutkan mayat Syaikh Siti Jenar menyebarkan bau wangi semerbak, namun
kemudian menjadi anjing berbulu hitam. Konon bangkai anjing itu dikubur di
Masjid Agung Demak, Jawa Tengah. (hlm. 14). Jika kita menganalisisnya, sejarah
tersebut tidak bisa diterima secara akal sehat. Bahkan, merupakan sebuah
pelecehan terhadap seorang Waliyullah.
Adalah
Agus Sunyoto yang mencoba untuk menjelaskan secara utuh tentang sosok Syaikh
Siti Jenar dengan pendekatan Verstehen dan kualitatif yang ternyata
dengan dua pendekatan seperti itu didapatkan sebuah gambaran utuh tentang sosok
Syaikh Siti Jenar yang bertolak belakang dengan pencitraan dan stigma yang
selama ini berlaku atas tokoh kontroversial tersebut. (hlm. 18). Penggambaran
tersebut dituangkan oleh Agus Sunyoto dalam bentuk karya fiksi. Menjelaskan
tentang kehidupan seorang Wali dalam bentuk karya ilmiah memang sangat sulit
untuk dilakukan bahkan bisa dikatakan mustahil, sebab kehidupan seorang Wali
terutama tentang berbagai Karomahnya tidak bisa dijelaskan secara akal
sehat. Keputusan untuk menuangkan dalam bentuk karya fiksi, selain dimaksudkan
untuk mengatasi faktor-faktor teknis metodologis, juga bisa diharapkan agar
masyarakat pembaca memahami kisah tokoh kontroversial dari sudut pandang lain.
Dalam
novel ini dijelaskan bahwa perjalanan spiritual Syaikh Siti Jenar untuk sampai
ke Hadirat Allah SWT dilalui dengan empat tangga dengan bimbingan Sayyidina Abu
Bakar ra. Pertama, anak tangga Istighfar yang mana dengan anak tangga
ini akan tercapai maghfirah yang terpancar dari al-Ghaffar dan
akan menyingkap selubung hijab. Kedua, anak tangga Shalawat yang mana
dengan anak tangga ini seorang salik akan menyadari dirinya adalah bagian dari
pancaran Nur Muhammad yang selanjutnya dengan pancaran ini seseorang
dapat melanjutkan perjalanan ke Haqiqah al-Muhammadiyyah. Ketiga, anak
tangga tahlil, yakni sebuah tangga penauhidan yang mana dengan anak tangga ini
seorang salik dapat mengetahui esensi atau makna rahasia di balik Haqiqah
al-Muhammadiyyah, inilah tahap yang disebut Wahdat as-Syuhud. Keempat, setelah
seorang salik mencapai tahap Syuhud, maka dia akan mencapai tangga nafs
al-Haqq yang ketika seorang salik berada dalam tahap ini, maka dia akan
berada dalam posisi fana’ (peniadaan diri) karena kehidupannya telah
telah terhubung dengan al-Haqq. (hlm. 27-28).
Keempat
tahap di atas merupakan satu kesatuan dari Asma’, Af’al, Shifat dan Dzat
yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Itu berarti,
mengenal Dia harus melalui empat tahap pengenalan. Pertama, mengenal ‘Asma.
Kedua mengenal Af’al. Ketiga, mengenal Shifat. Keempat,
mengenal Dzat. Pengenalan ini tidak bisa dituturkan dengan bahasa
manusia, tetapi harus dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman yang sangat
pribadi. Seseorang tidak akan bisa merasakan manisnya buah anggur hanya
mendengar tutur bahasa manusia, tetapi ia bisa merasakan manisnya buah anggur
dengan memakan langsung buah tersebut. Begitu juga dengan tasawuf, seseorang
tidak akan bisa merasakan manisnya mengenal Allah swt jika ia tidak langsung
mempraktikannya.
Demikianlah
perjalanan spiritual yang dijalani oleh Syaikh Siti Jenar. Tampak jelas bahwa
ajaran yang dianut oleh Syaikh Siti Jenar bukanlah ajaran “Manuggaling
Kawula Gusti” yang selama ini dilekatkan oleh para penulis yang di mana
istilah tersebut diambil dari kitab primbon jawa atau dalam bahasa ilmiah lebih
sering disebut sebagai Pantheisme, dalam artian semua adalah Tuhan. Syaikh Siti Jenar merupakan seorang Wali dengan
ajaran Fana’ wal Baqa’ yang memang ada secara dalil dalam al-Quran bahwa
segala sesuatu akan rusak/binasa kecuali Allah swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar