Berbicara mengenai hubungan negara dan agama
tidak lepas dari paham teokrasi, sekularis, komunis dan moderasi. Ke
empat paham ini berbicara secara luas dan gamblang mengenai hubungan agama dan
negara. Teokrasi, berpandangan bahwa hubungan agama dan Negara
mempunyai hubungan yang signifikan. Dengan kata lain hubungan agama dan Negara
sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan.karena pemerintahan dijalankan
didasarkan firman-firman tuhan. Sekularis, berpandangan bahwa Negara dan agama
tidak memiliki hubungan satu sama lain, dalam paham ini Negara dan agama adalah
murni urusan hubungan manusia dengan manusia lain sedangkan agama adalah murni
urusan manusia dengan tuhan. Komunis, paham ini berpandangan secara radikal,
bahwa hubungan agama dan Negara berdasarkan pada filosofis materialism
dialektis dan materialism historis. Output dan outcome dari pandangan ini
adalah paham atheis. Moderasi, yaitu sintesa dari paham teokrasi dan sekuler.
Paham ini berpendirian bahwa terdapat nilai-nilai baik, seperti nilai keadilan
dan moral dan system keteraturan. Sementara Negara memiliki system kekuatan
yang mengejawantahkan tujuan Negara, seperti nilai kesejahteraan dan kenyamanan
warga Negara.
Namun dalam pembahasan makalah ini penulis
tidak akan membahas mengenai hubungan agama dan Negara menurut paham teokrasi,
sekularis, komunis dan moderasi seperti apa yang telah dijelaskan di atas.
Walaupun penulis sadar bahwa pembahasan mengenai paham tersebut masih menarik
untuk dibahas.
Namun pembahsan makalah ini bertendensi pada
hubungan agama dan Negara mengenai kontribusi atau sumbangsih Nahdhatul Ulama
(NU) terhadap perjalanan sejarah pembentukan Negara Republik Indonesia sebagai
representasi dari Agama Islam . Dengan hal ini maka perlu adanya pembatasan
masalah agar pembahasan dalam makalh ini tidak melebar dan pembahsannya focus
pada permasalahan yang dirumuskan.
Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang
Keagamaan Dan Ekonomi
1. Bidang Keagamaan
Sejak berdiri Nahdlatul Ulama
menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan Islam (Jam’iyyah Diniyyah
Islamiyah). Nahdlatul Ulama didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi-pribadi
muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya dengan ajaran agama Islam
serta mengembangkannya, sehingga terwujudlah peranan agama Islam dan para
pemeluknya sebagai rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam)
sebagaimana firman Allah SWT :
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
Artinya : Tidaklah
Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh
alam. (QS. Ali Imran 107)
Sebagai organsasi keagamaan,
Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang
senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah), toleransi
(tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan antar sesama umat Islam maupun
dengan sesama warga negara yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk
bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan
dinamis
Sebagai organisasi keagamaan,
tentunya Naahdlatul Ulama memiliki ciri keagamaan yang dapat dilihat dalam
beberapa hal, antara lain :
1.
Didirikan karena motif keagamaan, tidak karena dorongan politik, ekonomi atau
lainnya.
2. Berasas
keagamaan sehingga segala sikap tingkah laku dan karakteristik perjuangannya
selalu disesuaikan dan diukur dengan norma hukum dan ajaran agama.
3.
Bercita-cita keagamaan yaitu Izzul Islam wal Muslimin (kejayaan Islam dan kaum
muslimin) menuju Rahmatan lil ‘Alamin (menyebar rahmat bagi seluruh alam).
4.
Menitikberatkan kegiatannya pada bidang-bidang yang langsung berhubungan dengan
keagamaan, seperti masalah ubudiyyah, mabarrat, dakwah, ma’arif, muamalah dan
sebagainya.
Ciri keagamaan tersebut
dijabarkan dalam strategi dan wujud kegiatan-kegiatan pokok, dengan
mengutamakan :
1.
Pembinaan pribadi-pribadi muslim supaya mampu menyesuaikan hidup dan
kehidupannya menuju terwujudnya Jama’ah Islamiyah (masyarakat Islam).
2. Dorongan
dan bimbingan kepada umat terutama pada warganya untuk mau dan mampu melakukan
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan rangkaian perjuangan besar meluhurkan
kalimah Allah SWT.
3.
Mengorganisasikan kegiatan-kegiatan tersebut dalam wadah perjuangan dengan tata
kerja dan tata tertib berdasar musyawarah.
2. Bidang Ekonomi
Bagi semua orang, berekonomi
dalam pengertian berbuat untuk mendapat nafkah hidup adalah suatu kebutuhan
mutlak. Bagi orang beragama, berekonomi adalah perintah Allah SWT dan
pelaksanaannya harus disesuaikan dengan ajaran dan hukum agama. Berekonomi
adalah sarana mutlak untuk memelihara kelangsungan hidup dan di dalam hidup
itulah orang dapat ibadah, berbuat sesuatu untuk kepentingan agama, bangsa dan
Negara.
Berekonomi dalam Islam adalah
sekedar memenuhi kebutuhan pokok bagi diri sendiri dan keluarga. Tetapi Islam
tidak membiarkan pemeluknya hanya sekedar mampu memenuhi kebutuhan yang paling
minim bagi diri dan keluarganya saja.
Islam mendorong secara tegas
supaya para pemeluknya memiliki harta benda yang berlebih dari kebutuhan
pokoknya, sehingga mampu melaksanakan kewajiban berzakat. Mampu berzakat
berarti memiliki harta benda sedikitnya satu nisab. Orang baru terlepas dari
kewajiban itu setelah ternyata tidak mampu, Islam tidak menyenangi kemiskinan,
bahkan mengajarkan pemberantasan kemiskinan antara lain dengan kewajiban
membayar zakat.
Nahdlatul Ulama tidak
melupakan aspek ekonomi dalam program kerjanya yang permanen, karena seluruh
warganya berekonomi dan dalam berekonomi itu harus ditaati dan diikuti
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh agama.
Dalam Anggaran Dasar
Nahdlatul Ulama pasal 6 huruf d ditegaskan bahwa di bidang ekonomi,
mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan
kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan dengan
mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan. Dengan demikian jelas
bahwa kesejahteraan umat merupakan masalah yang menjadi perhatian utama
Nahdlatul Ulama dalam kiprahnya di bidang ekonomi.
Program berekonomi Nahdlatul
Ulama dibatasi tidak lebih dari pokok-pokok ajaran agama dalam berekonomi,
yaitu :
1.
Mendorong para anggotanya untuk meningkatkan kegiatannya berekonomi demi
meningkatkan kemampuan ekonominya.
2.
Membimbing para anggotanya supaya dalam berekonomi selalu mentaati dan
mengikuti hukum dan ajaran Islam.
Berangkat dari pokok-pokok di atas, maka Nahdlatul Ulama dapat mewujudkannya
dengan cara :
a.
Membentuk koperasi tingkat bawah yang tumbuh dari kebutuhan nyata.
b.
Menciptakan jaringan-jaringan kerja ekonomi antara tingkat pedesaan dengan
pedesaan, perkotaan dengan perkotaan dan pedesaan dengan perkotaan.
c.
Nahdlatul Ulama selalu mengajukan gagasan, ajakan dan pengawasan tentang
penentuan skala prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Nahdlatul Ulama juga mengembangkan ekonomi melalui peran serta pesantren,
karena terbukti sangat efektif. Letak pesantren yang pada umumnya di pedesaan
memungkinkan lembaga ini memahami persoalan-persoalan desa, sehingga
gagasan-gagasan pengembangan kesejahteraan yang datang dari luar dapat diserap
dengan baik oleh masyarakat setelah diolah dan disampaikan oleh pesantren.
Disamping itu Nahdlatul Ulama juga memiliki perangkat organisasi yang mendukung
program ekonominya, seperti : lembaga perekonomian dan lembaga pengembangan
pertanian.
Peran Nahdlatul Ulama Dalam
Bidang Pendidikan
Nahdlatul Ulama memaknai
pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga kunci dalam
memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan
harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiganya merupakan
komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk melakukan
tanggung jawab dan harmonisasi.
Fungsi pendidikan bagi
Nahdlatul Ulama adalah, satu, untuk mencerdaskan manusia dan bangsa sehingga
menjadi terhormat dalam pergaulan bangsa di dunia, dua, untuk memberikan
wawasan yang plural sehingga mampu menjadi penopang pembangunan bangsa.
Gerakan pendidikan Nahdlatul
Ulama sebenarnya sudah dimulai sebelum Nahdlatul Ulama sebagai organisasi
secara resmi didirikan. Cikal bakal pendidikan Nahdlatul Ulama dimulai dari
berdirinya Nahdlatul Wathan, organisasi penyelenggara pendidikan yang lahir
sebagai produk pemikiran yang dihasilkan oleh forum diskusi yang disebut
Tashwirul Afkar, yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Organisasi ini
mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi mutu pendidikan sekolah atau
madrasah yang teratur.
Dalam mengusahakan
terciptanya pendidikan yang baik, maka Nahdlatul Ulama memandang perlunya
proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur.Sekolah atau madrasah
menjadi salah satu program permanen Nahdlatul Ulama, disamping jalur non formal
seperti pesantren.
Sekolah atau madrasah yang
dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter
masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan
masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula masyarakat
mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental, percaya pada
diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa penjajahan,
Nahdlatul Ulama secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi sekolah
atau madrasah dan segala bidang kegiatannya.
Lembaga Pendidikan Ma’arif
(LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September 1929 M atau bertepatan
dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang membantu Nahdlatul Ulama di
bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan dan mengembangkan sekolah
atau madrasah menjadi lebih baik.
Sebagai lembaga yang diberi
kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, LP Ma’rif
mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan demi meningkatkan kualitas
pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan misi yang dimaksud adalah :
1. Visi
a.
Terciptanya manusia unggul yang mampu berkompetisi dan sains dan teknologi
serta berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b.
Tersedianya kader-kader bangsa yang cakap, terampil dan bertanggung jawab dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakhlak karimah.
c.
Terwujudnya kader-kader Nahdlatul Ulama yang mandiri, kreatif dan inovatif
dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat.
2. Misi
a.
Menjadikan lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan menjadi idola
masyarakat.
b.
Menjadikan lembaga pendidikan yang independen dan sebagai perekat komponen
bangsa.
Selain sekolah atau madrasah,
pendidikan lain yang dikelola Nahdlatul Ulama adalah pesantren. Dengan segala
dinamikanya, keberadaan pesantren telah memberikan sumbangan besar yang tidak
ternilai harganya dalam mencerdaskan anak bangsa, menyuburkan tradisi keagamaan
yang kuat serta menciptakan generasi yang berakhlak karimah.
Pendidikan pesantren
dirancang dan dikelola oleh masyarakat, sehingga pesantren memiliki kemandirian
yang luar biasa, baik dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, mengembangkan ilmu
(agama) maupun dalam mencetak ulama.Para lulusan pesantren tidak sedikit yang
tampil dalam kepemimpinan nasional, baik dalam reputasi kejuangan, keilmuan,
kenegaraan maupun kepribadian.
Tradisi keilmuan dan keahlian
dalam pesantren ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut :
a. Adanya
tahapan-tahapan materi keilmuan.
b. Adanya
hirarki kitab-kitab yang menjadi bahan kajian.
c. Adanya
metodologi pengajaran yang bervariasi (pola terpimpin, pola mandiri dan
ekspresi).
d. Adanya
jaringan pesantren yang menggambarkan tingkatan pesantren.
Salah satu tugas besar yang
menjadi tanggung jawab Nahdlatul Ulama dalam pengembangan pendidikan pesantren
adalah bagaimana menggali nilai-nilai tradisi yang menjadi ciri khasnya dengan
ajaran Islam untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Hanya dengan
demikian Nahdlatul Ulama akan mampu memberikan arti keberadaan dan kebermaknaannya
dalam masyarakat, bangsa dan kemanusiaan
Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa
Reformasi
Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru
merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri.
Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh
penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga
dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran
pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas
Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang
mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses
reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal dengan Refleksi
Reformasi.
Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :
1.
Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar
reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.
2.
Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali
ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea rah penataan
sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
3.
Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau
terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.
Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan
hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya
pemaksaan kehendak.
5.
Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan
bertanggung jawab.
6. TNI
harus berdiri di atas semua golongan.
7.
Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada
kelompok tertentu.
8. Praktik
monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik
ekonomi.
Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya
menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan
jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998
yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj,
M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting
dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional
yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10
Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang KH.
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan
Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH.
Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu
belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.
Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang
sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah
deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan
reformasi, yaitu :
1.
Menghimbau kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan
pesatuan bangsa.
2.
Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga
perwakilan sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
3.
Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di
dalam proses pembangunan bangsa.
4.
Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan
datang.
5. Segera
dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
6.
Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal
pernyataan ini dibacakan.
7.
Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan
kroni-kroninya.
8. Mendesak
untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa
Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak
segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah
Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar
bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda.
Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di
Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan
penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan
mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.
D. Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang
Politik
Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik dalam pemahaman
Nahdlatul Ulama, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik
kekuasaan. Nahdlatul Ulama sejak berdiri memang melakukan aktivitas politik,
terutama dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan, karena
Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Dalam sejarah perjalanan Indonesia, tercatat bahwa Nahdlatul Ulama selalu
memperjuangkan keutuhan NKRI. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islam-an,
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Nahdlatul Ulama juga didasari oleh
nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Politik jenis kedua yang dijalankan oleh Nahdlatul Ulama yaitu politik
kerakyatan. Politik kerakyatan bagi Nahdlatul Ulama sebenarnya adalah
perwujudan dari prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa
untuk membela rakyat. Hal itulah yang kemudian diambil alih oleh generasi muda
Nahdlatul Ulama melalui LSM-LSM, ketika melihat Nahdlatul Ulama secara
structural kurang peduli terhadap permasalahan yang menyangkut kepentingan
rakyat kecil.
Nahdlatul Ulama juga menjalankan politik jenis ketiga, yaitu politik kekuasaan
atau yang lazim disebut politik praktis. Politik kekuasaan merupakan jenis
politik yang paling banyak menarik perhatian orang Nahdlatul Ulama. Dalam
catatan sejarah, terlihat bahwa Nahdlatul Ulama pernah mendapatkan kesuksesan
dalam pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955. Pada saat itu, dalam waktu
persiapan yang relative sangat pendek, Partai Nahdlatul Ulama yang baru keluar
dari Masyumi dapat menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi yang
sangat siap waktu itu. Disusul pada pemilu pertama orde baru pada tahun 1971,
dimana Partai Nahdlatul Ulama menduduki posisi kedua setelah Golongan Karya.
Sejak saat itu banyak tokoh Nahdatul Ulama yang terjun ke dunia politik
praktis. Hal ini membawa dampak negatif pada aktivitas penting Nahdlatul Ulama
lainnya seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan dakwah yang
menjadi terbengkalai.
Menyadari bahwa Nahdlatul Ulama merupakan satu kesatuan yang integral dari para
anggotanya dengan aneka ragam latar belakang dan aspirasi masing-masing dan
demi mengembangkan budaya politik yang bertanggung jawab, maka Nahdlatul Ulama
memberikan pedoman berpolitik sebagai berikut :
1.
Berpolitik mengandung arti keterlibatan warga Negara dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
2.
Berpolitik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.
3.
Berpolitik dengan mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan
demokratis, menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai
kemaslahatan bersama.
4.
Berpolitik harus dilakukan dengan moral, etika dan budaya sesuai dengan
nilai-nilai sila-sila Pancasila.
5.
Berpolitik harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama.
6.
Berpolitik dilakukan untuk memperkokoh consensus-konsensus nasional dan
dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam
Ahlussunnah Wal Jama’ah.
7.
Berpolitik dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan
kepentingan bersama dan memecah belah persatuan
8.
Perbedaan pandangan harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan dan saling
menghargai.
9.
Berpolitik menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam
pembangunan nasional.
Dengan berpedoman pada etika
politik di atas, menurut Ir. KH. Salahuddin Wahid, Nahdlatul Ulama dapat
mewujudkan peran politik yang ideal dengan selalu berpegang pada
prinsip-prinsip, pertama, memperhatikan kepentingan bangsa dan negara serta
agama, kedua, memperhatikan kepentingan Nahdlatul Ulama, baik secara jama’ah
(komunitas) maupun jam’iyyah (organisasi), ketiga, orang-orang Nahdlatul Ulama
yang memiliki jabatan dalam structural organisasi Nahdlatul Ulama tidak masuk
ke dalam wilayah politik praktis.
Selanjutnya dalam
merespon perkembangan politik pada masa reformasi, Nahdlatul Ulama
memfasilitasi pendeklarasian sebuah partai politik. Pendeklarasian partai
tersebut bertujuan untuk menyalurkan dan memproses warga nahdliyin yang ingin
berkiprah dalam politik praktis agar menjadi politisi sejati, yang pada
gilirannya menjadi negarawan.
Pada sisi lain, Nahdlatul
Ulama memberikan kebebasan pada warganya untuk memasuki partai politik manapun
yang diyakininya dapat menjadikan dirinya sebagai politisi sejati dan
negarawan. Dengan catatan senantiasa mengacu pada etika berpolitik nahdliyin
yang didasarkan pada nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak kehilangan
kesetiaan kepada cita-cita dan kepentingan Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar