1. Trygve Lie
Trygve Lie adalah seorang politikus berkebangsaan Norwegian. Lahir di kota Oslo, Norwegia pada16 Juli 1896 dan meninggal 30 Desember 1968 di Geilo, Norwegia. Istrinya bernama Hjordis Jorgensen. Trygve Lie merupakan orang pertama yang memegang jabatan Sekretaris Jenderal PBB. Beliau memegang jabatan itu dari tanggal 2 Februari 1946 sampai 10 November 1952. Trygve Lie mengakiri jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal PBB karena mengundurkan diri dan digantikan oleh Dag Hammarskjold. "Anda akan memasuki pekerjaan terpenting di dunia ini". Dengan kata-kata inilah Trygve Halvdan Lie menyerahkan mandatnya sebagai Sekretaris Jendral PBB kepada Dag Hammarskjold. Saat itu Perserikatan Bangsa-Bangsa sedang menghadapi krisis paling serius, dan Lie memutuskan melepaskan mandatnya.
2. Dag Hammarskjold
Dag Hammarskjold memiliki nama lengkap Dag Hjalmar Agne Carl Hammarskjold adalah seorang diplomat Swedia. Dag Hammarskjold dilahirkan di kota Jonkoping, Swedia pada 29 Juli 1905. Setelah dewasa pindah ke Uppsala, tempat ayahnya menjabat sebagai Gubernur Kaunti. Banyak jabatan penting yang pernah dipegangnya, antara lain: Menjadi Dosen Senior Ilmu Ekonomi pada 1933, Wakil Sekretaris dalam Kementerian Keuangan selama 10 tahun, Ketua Delegasi Swedia ke perundingan OECD antara 1947-1948, Wakil Sekretaris Tetap di Kementerian Luar Negeri antara 1949-1951, dan kemudian bergabung dengan pemerintahan sebagai menteri negara non-politik dengan kisaran isu internasional yang luas. Pada 10 April 1953, Dag Hammarskjold diangkat menjadi Sekretaris Jendral PBB yang kedua menggantikan Trygve Lie.
Dag Hammarskjold terkenal sebagai pemimpin terdedikasi dengan visi luas untuk jabatannya. Digerakkan dengan kebulatan tekad pribadinya untuk efektif dengan bereaksi cepat terhadap krisis-krisis yang dihadapi, ia mencoba memecahkan masalah di tahap pertama, masalah yang ia percaya hanya akan menjadi rumit bila ditunda. Selama masa jabatannya, ia juga memperkenalkan diplomasi diam untuk membuka debat yang bisa menimbulkan konflik lebih dalam. Dag Hammarskjold membawa otoritas baru untuk mandatnya sebagai Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia memelihara pendirian netral dalam cara kerjanya dan menekankan tanggung jawab PBB untuk menjamin kepentingan dan hak yang berkaitan dengan. Hammarskjold juga menggagas penggunaan angkatan perdamaian PBB dan kebijakan ini menjadi ciri tetap dalam usaha penjagaan perdamaian PBB.
Dag Hammarskjold juga memiliki kepribadian budaya yang kuat. Ia diakui sebagai penulis, penerjemah, dan salah satu dari 18 anggota Akademi Swedia.Selama masa jabatannya, Hammarskjold berhasil memperbaiki konsekuensi 3 krisis dunia: krisis Suez pada 1956, dan dalam konflik di Libanon dan Laos. Saat perang saudara pecah di Kongo, Hammarskjold membantu meminta pasukan PBB dikirim ke daerah itu dan secara pribadi ia mencoba menengahi mereka yang bertengkar. Selama salah satu misi ini, pada 17 September 1961, Hammarskjold terbunuh dalam kecelakaan pesawat di daerah yang kini bernama Zambia. Secara anumerta Dag Hammarskjold dianugerahi Penghargaan Perdamaian Nobel pada 1961.
3. U Thant
Maha Thray Sithu U Thant atau biasa dipanggil U Thant adalah seorang diplomat dari Myanmar. Lahir di Pantanaw, Myanmar pada 22 Januari 1909 dan meninggal di New York, Amerika Serikat pada 25 November 1974. Istrinya bernama Daw Thein Tin. U Thant menduduki jabatan Sekretaris Jenderal PBB sejak 30 November 1961, menggantikan Dag Hammarskjold yang tewas karena kecelakaan pesawat pada bulan September 1961. U Thant merupakan Sekretaris Jenderal PBB pertama dari Asia. U Thant mengakhir jabatannya sebagai Sekjen PBB pada 1 Januari 1972 dan digantikan oleh Kurt Josef Waldheim.
4. Kurt Waldheim
Kurt Josef Waldheim adalah seorang diplomat Austria dan politikus konservatif. Lahir 21 Desember 1918 di Sankt Andra-Wordern near Vienna, Austria Jerman dan meninggal 14 Juni 2007 di Vienna, Austria dalam usia 88 tahun. Istrinya bernama Elisabeth Waldheim. Kurt Josef Waldheim menjabat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa sejak 1 Januari 1972 sampai 1 Januari 1982. Sebelum menjabat Sekretaris Jenderal PBB, Kurt Josef Waldheim pernah menjadi Presiden Federal Austria pada periode 1986-1992 dan merupakan mantan presiden Austria tertua. Dalam jabatan sebagai Sekretaris Jenderal PBB, Kurt Josef Waldheim juga termasuk yangtertua.
5. Javier Perez de Cuellar
Javier Perez de Cuellar de la Guerra atau Javier Perez de Cuellar adalah seorang diplomat Peru yang lahir di Lima, Peru pada 19 Januari 1920. Istrinya bernama Marcela Temple. Javier Perez de Cuellar menjabat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak 1 Januari 1982 sampai 31 Desember 1991. Sebelum menjadi Sekjen PBB, Javier Perez de Cuellar perbah kalah berpacu dengan Alberto Fujimori untuk jabatan Presiden Peru. Ia adalah Presiden Dewan Menteri, sebagaimana MenLu dari November 2000 sampai Juli 2001, selama periode turbulensi menyusul pengunduran Fujimori karena dugaan korupsi. Pada September 2004, ia berhenti dari jabatannya sebagai Duta Besar Peru untuk Perancis.
Perez de Cuellar bergabung dengan Kementerian Luar Negeri pada 1940 dan dinas diplomatik pada 1944, kemudian menjabat sebagai Sekretaris di KeduBes Peru di Prancis, Britania Raya, Bolivia, dan Brazil. Lalu ia menjabat sebagai Duta Besar Swiss, Uni Soviet, Polandia, dan Venezuela.Ia adalah anggota delegasi Peru kepada MU pada sesi pertamanya pada 1946 dan anggota delegasi sesi ke-25 melalui ke-30 di sana. Pada 1971, ia diangkat sebagai perwakilan tetap Peru kepada PBB, dan ia memimpin delegasi negaranya ke semua sesi di MU dari saat itu hingga 1975. Pada 1973 dan 1974, ia mewakili negaranya dalam DK PBB, menjabat sebagai Presiden Dewan di waktu peristiwa di Siprus pada Juli 1974. Pada 18 September 1975, ia diangkat sebagai Perwakilan SekJen di Siprus – kedudukan yang dipegangnya hingga Desember 1977, saat ia bergabung kembali dengan Agen Rahasia Peru. Pada 27 Februari 1979, ia diangkat sebagai Sekretaris Muda PBB untuk Urusan Politik Khusus. Dari April 1981, saat masih tetap memegang jabatan itu, ia bertindak sebagai Perwakilan Pribadi SekJen pada situasi di Afganistan. Dalam kapasitas ini, ia mengunjungi Pakistan dan Afganistan pada bulan April dan Agustus di tahun itu untuk melanjutkan perundingan yang digagas SekJen beberapa bulan sebelumnya.
Pada 31 Desember 1981, Perez de Cuellar menggantikan Kurt Waldheim menjadi Sekretaris Jenderal PBB untuk masa kedua pada Oktober 1986. Selama 2 masa jabatannya, ia memimpin mediasi antara Britania Raya dan Argentina setelah Perang Malvinas dan memperkembangkan usaha Grup Contadora untuk membawa perdamaian dan stabilitas di Amerika Tengah. Ia juga menengahi perundingan buat kemerdekaan Namibia, konflik di Sahara Barat antara Maroko dan Front Polisario, serta isu Siprus. Masa jabatan keduanya sebagai SekJen berakhir pada Januari 1992.
6. Boutros Boutros Ghali
Boutros Boutros Ghali adalah seorang kebangsaan Mesir yang lahir pada 14 November 1922 di Kairo, Mesir. Istrinya bernama Leia Maria Boutros Ghali. Boutros Boutros Ghali menjabat sebagai Sekjen PBB dari 1 Januari 1992 hingga Desember 1996. Boutros Boutros Ghali berasal dari keluarga Kristen Koptik (Boutros adalah bentuk Arabik dari Petros, bentuk Koptik dari nama Peter) yang telah memberikan Mesir seorang Perdana Menteri (Boutros Ghali, 1846 – 1910). Dia lulus dari Universitas Kairo pada tahun 1946 dan mendapat Ph.D. dalam hukum internasional dari Universitas Paris dan juga diploma dalam hubungan internasional dari Institut Ilmu Politik Paris (lebih dikenal dengan sebutan sederhana Sciences Po) pada tahun 1949. Tahun yang sama, dia ditunjuk menjadi Profesor Hukum Internasional dan Hubungan Internasional di Universitas Kairo, posisi yang ia pegang sampai 1977. Dia menjadi Presiden Pusat Studi Politik dan Strategis pada 1975 dan Presiden Perkumpulan Studi Politik Afrika pada 1980. Dia menjadi Pelajar Riset Fulbright di Universitas Columbia dari 1954 sampai 1955, Direktur Pusat Riset di Akademi Hukum Internasional Den Haag dari 1963 sampai 1964, dan Visiting Professor di Fakultas Hukum Universitas dari 1967 sampai 1968.
Boutros Boutros Ghali telah lama dikaitkan dengan pihak yang berkuasa di Mesir. Karier politiknya menanjak pada zaman mantan presiden Anwar El-Sadat. Dia adalah anggota Komite Pusat Persatuan Sosialis Arab (1974-1977). Dia telah menjabat di Kementrian Negara Urusan Luar Negeri Mesir semenjak 1977 sampai awal 1991. Dia lalu menjadi Wakil Menteri Luar Negeri untuk beberapa bulan sebelum pindah ke PBB. Sebagai Menteri Negara Urusan Luar Negeri, dia memainkan peranan dalam persetujuan perdamaian antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin.
7. Kofi Annan
Kofi Atta Annan atau Kofi Annan adalah seorang diplomat asal Ghana yang lahir pada 8 April 1938 di Kumasi, Ghana. Istrinya bernama Titi Alakija Nane Maria Annan dan sudah cerai.Ia menjabat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa pada periode 1 Januari 1997 hingga 31 Desember 2006 untuk dua kali masa jabatan lima tahunan. Pada 1 Januari 2007, ia digantikan Ban Ki-moon. Ia pernah meraih Penghargaan Nobel Perdamaian pada 2001. Sejak Juni 2007, ia memimpin Aliansi untuk Revolusi Hijau di Afrika, sebuah organisasi yang bertujuan meningkatkan hasil produksi pertanian dan perkebunan di Afrika sekaligus melawan kelaparan, kekurangan persediaan air bersih, dan erosi tanah. Organisasi itu dibentuk tahun 2006 oleh Yayasan Bill dan Melinda Gates serta Yayasan Rockefeller dengan dana bantuan 150 juta USD.
Kofi Annan anak dari Victoria dan Henry Reginald Annan yang lahir di wilayah Kofandros Kumasi, Ghana. Nama "Kofi" berarti "terlahir pada hari Jumat". Annan yang lahir sebagai anak kembar dianggap sebuah peristiwa spesial oleh tradisi Ghana. Saudara kembarnya (Efua) meninggal pada tahun 1991. Keluarga Annan merupakan bagian kelompok elit Ghana. Kedua kakeknya serta pamannya adalah kepala suku. Ayahnya berdarah setengah Asante dan setengah Fante, sedang ibunya seorang suku Fante. Ayah Annan bekerja cukup lama sebagai manajer ekspor perusahaan cokelat Lever Brothers. Dari tahun 1954-1957, Annan bersekolah di sekolah elit Mfantsipim, sebuah sekolah berasrama Methodis di Cape Coast yang didirikan pada tahun 1870-an. Annan pernah mengatakan bahwa sekolahnya mengajarkan bahwa "penderitaan di mana-mana memprihatinkan orang-orang di mana-mana." Pada 1957, ketika ia lulus dari Mfantsipim, Ghana menjadi koloni Britania pertama di daerah Sub-Sahara yang merdeka.
Pada 1958, Annan mulai belajar untuk mencapai gelar dalam ilmu ekonomi Sekolah Tinggi Sains dan Teknologi Kumasi, yang kini berubah namanya menjadi Universitas Sains dan Teknologi Kwame Nkrumah. Ia memperoleh bea siswa Ford Foundation yang menolongnya menyelesaikan studinya di Macalester College di St. Paul Minnesota, Amerika Serikat pada tahun 1961. Ia kemudian melanjutkan studi di Institut universitaire des ahutes etudes internationales di Jenewa (Swiss) pada periode 1961-1962, dan kemudian mengikuti program Sloan Fellows di MIT Sloan School of Management (1971-1972) dan menerima gelar Master of Sciende. Annan fasih berbahasa Inggris, Perancis, Kru, dialek-dialek lain dari bahasa-bahasa Akan, dan bahasa-bahasa Afrika lainnya. Ia menikah dengan Nane Maria (Lagergren) Annan dari Swedia, seorang pengacara dan artis yang merupakan kemenakan tiri Raoul Wallenberg. Annan mempunyai dua orang anak, Kojo Annan dan Ama, dari pernikahannya sebelumnya dengan Titi Alakija, seorang perempuan Nigeria. Ia bercerai dengan Alakija pada akhir tahun 1970-an. Nane Annan juga mempunyai seorang anak, Nina Cronstedt de Groot, dari pernikahannya sebelumnya.
Pada 1962, Annan bekerja sebagai pegawai anggaran untuk Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), sebuah badan PBB. Dari 1974-1976, ia bekerja sebagai Direktur Pariwisata di Ghana. Sesudah itu, ia bekerja kembali di PBB sebagai Asisten Sekretaris Jenderal di tiga posisi berurutan: Manajemen Sumber Daya Manusia dan Koordinator Keamanan (1987-1990), Perencanaan Program, Anggaran dan Keuangan, dan Pengawas (1990-1992), serta Operasi Penjaga Perdamaian (Maret 1993-Februari 1994). Dalam bukunya Shake Hands with the Devil: The Failure of Humanity in Rwanda (Berjabat Tangan dengan Iblis: Kegagalan Umat Manusia di Rwanda), bekas Jenderal Roméo Dallaire yang menjabat sebagai komandan pasukan UNAMIR mengklaim bahwa Annan terlalu pasif dalam menanggapi genosida suku Tutsi pada 1994 di Rwanda. Jen. Dallaire dengan terang-terangan mengatakan bahwa Wakil Sekretaris Jenderal untuk Operasi Penjaga Perdamaian mencegah pasukan-pasukan PBB ikut campur dalam memecahkan konflik dan dalam memberikan lebih banyak dukungan logistik dan materi. Misalnya, ia mengklaim bahwa Annan gagal memberikan tanggapan terhadap faks Dallaire yang dikirim berulang-ulang memintanya agar diberikan akses ke gudang senjata, yang mestinya dapat menolong membela suku Tutsi. Namun Dallaire mengakui bahwa Annan adalah orang yang dirasakannya sangat "tinggi komitmennya" terhadap prinsip-prinsip pembentukan PBB. Annan saat itu menjabat Wakil Sekretaris Jenderal sampai Oktober 1995 ketika ia diangkat sebagai Utusan Khusus Sekretaris Jendearl PBB ke bekas Yugoslavia. Ia bertugas selama lima bulan dalam kapasitas ini dan kembali ke tugas-tugasnya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal pada April 1996.
Pada 13 Desember 1996, Annan terpilih oleh Dewan Keamanan PBB sebagai Sekretaris Jenderal, dan dikukuhkan empat hari kemudian lewat pemungutan suara di Majelis Umum. Annan segera mengambil sumpah jabatan, dan memulai masa jabatannya yang pertama sebagai Sekretaris Jenderal pada 1 Januari 1997. Annan menggantikan Sekretaris Jenderal Boutros Boutros-Ghali dari Mesir, yang berakhir masa jabatannya. Ia menjadi orang pertama dari sebuah negara Afrika Hitam yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal. Masa jabatan Annan sebagai Sekjen diperbarui pada 1 Januari 2002, dalam sebuah penyimpangan yang tidak lazim dari kebijakan yang tak resmi. Jabatan ini biasanya berotasi di antara benua, masing-masing dengan dua masa jabatan. Karena pendahulu Annan adalah Boutros-Ghali yang juga berasal dari Afrika, Annan biasanya hanya akan menjabat satu masa jabatan. Perpanjangan masa jabatannya menunjukkan popularitas Annan. Mark Malloch Brown menggantikan Louise Frechette sebagai Wakil Sekretaris Jendearl Annan pada April 2006.
8. Ban Ki-moon
Ban Ki-moon adalah seorang diplomat Korea Selatan dan kini menjabat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menggantikan Kofi Annan yang telah menyelesaikan masa jabatannya pada 1 Januari 2007. Ban Ki-moon pernah menjabat sebagai menteri luar negeri Republik Korea pada periode Januari 2004 hingga 1 November 2006. Pada 13 Oktober 2006, ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kedelapan pada Sidang Umum PBB dan dilantik pada 14 Desember 2006. Pada 21 Juni 2011 terpilih untuk menjalankan periode keduanya sebagai Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat hasil Sidang Umum untuk masa jabatan 2012 hingga 2016.
Ban Ki-moon lahir di Eumseong di sebuah desa kecil di Chungcheong Utara pada tanggal 13 Juni 1944. Waktu itu akhir masa Penjajahan Jepang di Korea. Ia dan keluarganya pindah ke kota kecil dekat Chungju dimana ia dibesarkan disana. Selama masa kecilnya, ayah Ban memiliki bisnis pergudangan, namun gudang tersebut bangkrut dan keluarganya mengalami kesulitan ekonomi. Ketika Ban berumur 6 tahun, keluarganya pindah ke daerah pegunungan selama Perang Korea. Setelah perang usai, keluarganya kembali lagi ke Chungju. Di sekolah menengah atas (SMA Chungju), Ban menjadi bintang kelas, terutama dalam pelajaran Bahasa Inggris. Pada tahun 1952, ia terpilih mewakili kelasnya untuk mengirimkan sebuah pesan kepada Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjold, tetapi tidak pernah diketahui apakah pesan tersebut terkirim atau tidak. Pada tahun 1962, Ban memenangkan sebuah lomba menulis esai yang disponsori oleh Palang Merah dengan hadiah perjalanan ke Amerika Serikat. Disana ia tinggal di San Fransisco bersama dengan keluarga tamu selama beberapa bulan. Sebagai bagian dari hadiah perjalanan tersebut, Ban bertemu dengan Presiden AS John F. Kennedy. Ketika seorang jurnalis yang berada di lokasi pertemuan tersebut mewawancarai Ban tentang apa yang ia ingin lakukan ketika menjadi dewasa, ia menjawab: "Saya ingin menjadi seorang diplomat."
Ban Ki-moon memperoleh gelar sarjananya dalam Hubungan Internasional dari Universitas Nasional Seoul pada tahun 1970 dan memperoleh gelar Master dalam bidang Administrasi Publik dari Sekolah Pemerintahan John F. Kennedy di Universitas Harvard pada 1985. Di Harvard, ia belajar dibawah didikan Joseph Nye yang mengenal Ban karena memiliki "sebuah kombinasi yang langka antara analisis yang jelas, kerendahan hati dan sikap protektif." Ban dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dibidang hukum oleh Universitas Malta pada 22 April 2009. Ia kemudian juga menerima penghargaan Doktor Hukum oleh Universitas Washington pada Oktober 2009. Selain berbahasa Korea sebagai bahasa asalnya, ia juga mampu berbahasa Inggris, Perancis, Jepang, dan Jerman. Akan tetapi, kemampuannya berbahasa Perancis, bahasa yang diisyaratkan sebagai bahasa yang wajib dikuasai oleh Sekretaris Jenderal PBB, masih diragukan.
Ban Ki-moon bertemu dengan Yoo Soon-taek pada tahun 1962 ketika mereka menjadi siswa sekolah menengah atas. Ban berumur 18 tahun, dan Yoo Soon-taek adalah wakil ketua organisasi kesiswaan sekolah menengah. Ban Ki- moon menikah dengan Yoo Soon-taek pada tahun 1971. Mereka memiliki tiga anak: dua perempuan dan satu laki-laki. Anak perempuan tertuanya, Seon-yong (lahir 1972) bekerja untuk Yayasan Korea di Seoul. Anak laki-lakinya, Woo-hyun (lahir 1974) meraih gelar MBA dari Sekolah Manajemen Anderson UCLA di Universitas California, Los Angeles dan bekerja untuk sebuah firma investasi di New York. Anak perempuan yang paling kecil, Hyun-hee (lahir 1976), adalah pengawas lapangan untuk UNICEF di Nairobi, Kenya. Setelah pemilihannya sebagai Sekretaris Jenderal, Ban menjadi ikon di kota tempat ia tinggal dimana keluarga besarnya tinggal. Sekitar 50.000 orang berkumpul di sebuah lapangan bola di Chungju untuk merayakan hasil pemilihan tersebut. Beberapa bulan setelah pemilihannya, ribuan praktisi feng shui mengunjungi desanya untuk mencari tahu bagaimana desa tersebut dapat menghasilkan orang penting semacam Ban. Ban sendiri bukanlah anggota dari gereja manapun atau kelompok religi dan ia menolak untuk menjelaskan secara rinci tentang kepercayaannya: "Sekarang, sebagai Sekretaris Jenderal, bukanlah waktu yang tepat untuk membahas tentang kepercayaan saya berkaitan dengan agama atau Allah apapun. Jadi mungkin kita akan membahas hal mengenai masalah pribadi di lain kesempatan." Ibu Ban sendiri dikabarkan beragama Buddha
Dalam Kementerian Luar Negeri Korea Selatan, Ban dipanggil dengan sebutan Ban-jusa, yang artinya "Sang Birokrat" atau "pegawai administratif". Nama tersebut digunakan untuk tujuan positif maupun negatif: pujian atas perhatian Ban terhadap hal yang detail dan kemampuan administratif sementara ejekan untuk menunjukkan kurangnya karisma dan sikap patuh yang berlebihan kepada atasannya. Korps media Korea menyebutnya dengan "belut yang licik" atas kemampuannya untuk menghindari pertanyaan. Pembawaan dirinya sering dideskripsikan menggunakan "pendekatan Konfusius". Setelah lulus dari universitas, Ban meraih angka tertinggi dalam tes pelayanan luar negeri Korea. Ia bergabung dengan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Korea Selatan pada Mei 1970 dan karirnya terus menanjak selama masa Konstitusi Yusin. Penempatannya yang pertama di luar negeri adalah di New Delhi, India dimana Ban bekerja sebagai wakil konsul dan menarik perhatian banyak atasannya di kementerian luar negeri dengan kompetensinya, Ban dikabarkan lebih memilih untuk menerima sebuah penempatan di India dibandingkan dengan Amerika Serikat, karena di India ia dapat berhemat dan mengirimkan lebih banyak uang untuk keluarganya. kemudian menempati pos di Divisi Perserikatan Bangsa-bangsa di markas besar Kementrian Luar Negeri. Pada tahun 1974, Ban menerima pengirimannya pertamanya ke PBB, sebagai Sekretaris Pertama pada Misi Pengamat Tetap Republik Korea (Korea Selatan menjadi anggota penuh PBB pada 17 September 1991). Setelah pembunuhan Park Chung-hee pada tahun 1979, Ban mengambil alih pos Direktur pada Divisi PBB.
Pada tahun 1980, Ban menjadi direktur untuk Biro Traktat dan Organisasi Internasional PBB yang bermarkas di Seoul. Ia pernah ditempatkan dua kali di Kedutaan Besar Korea di Washington DC. Di antara kedua penempatannya ini, ia menjabat sebagai Direktur Jenderal untuk Urusan Amerika pada 1990-1992. Ia kemudian dipromosikan menjadi Wakil Menteri untuk Perencanaan Kebijakan dan Organisasi Internasional pada 1995. Kemudian ia diangkat menjadi Penasihat Keamanan Nasional untuk Presiden pada 1996, dan menjabat sebagai Wakil Menteri pada 2000. Penempatannya yang paling terakhir adalah sebagai Penasihat Kebijakan Luar Negeri untuk Presiden Roh Moo-hyun. Ketika menjadi Duta Besar untuk Austria, ia terpilih sebagai Ketua Komisi Persiapan bagi Organisasi Perjanjian Pelarangan Uji-coba Nuklir yang Menyeluruh (CTBTO PrepCom) pada 1999. Ketika tiba giliran Korea menjabat sebagai ketua Sesi ke-56 dari Sidang Umum PBB pada 2001, ia bertugas sebagai Chef de Cabinet dari Ketua Sidang Umum.
Pada tahun 2004, Ban menggantikan Yoon Young-kwan sebagai Menteri Luar Negeri Korea Selatan dibawah kepemimpinan Presiden Roh Moo-hyun. Pada awal masa jabatannya, Ban menghadapi dua krisis utama: Di bulan Juni 2004, Kim Sun-il, seorang penerjemah Korea diculik dan dibunuh di Irak oleh kelompok ekstrem; dan pada bulan Desember 2004, banyak warga Korea Selatan yang meninggal akibat tsunami di Samudra Hindia. Popularitasnya naik setelah pembicaraan dengan Korea Utara mengalami kemajuan. Ban aktif terlibat dalam isu yang berkaitan dengan relasi antar Korea. Pada September 2005, sebagai menteri luar negeri, Ban memegang peranan penting dalam usaha-usaha diplomatik untuk mengadopsi Pernyataan Bersama dalam memecahkan masalah nuklir Korea Utara pada Putaran Keempat dari Perundingan enam negara yang diselenggarakan di Beijing, Republik Rakyat Cina.
Pada Februari 2006, Ban menyatakan pencalonannya untuk menggantikan Kofi Annan sebagai Sekretaris Jenderal PBB pada akhir 2006. Ini adalah kali pertama seorang Korea Selatan mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan tersebut. Dalam masa kampanye sebagai calon Sekretaris-Jenderal, Ban melakukan sejumlah orasi di Asia Society dan Dewan Hubungan Internasional di New York. Selain harus mendapatkan dukungan dari komunitas diplomat, Ban juga harus melewati hak veto yang mungkin dapat diberikan kepadanya oleh 5 anggota tetap Dewan Keamanan: RRC, Perancis, Rusia, Britania Raya dan Amerika Serikat. Ban populer di Washington dengan kebijakan mengirimkan pasukan Korea Selatan ke Irak. Tetapi Ban juga melawan beberapa kebijakan AS: ia memberikan dukungannya kepada Mahkamah Pidana Internasional dan meminta agar tidak terjadi pendekatan secara konfrontasi dengan Korea Utara. Ban mengatakan bahwa selama masa kampanyenya ia akan melakukan kunjungan ke Korea Utara untuk bertemu secara pribadi dengan Kim Jong-il. Ban dipandang sebagai seseorang yang dingin, berbeda dengan Kofi Annan yang dinilai memiliki kharisma namun lemah dalam mengatur masalah yang sedang berkembang misalnya dalam program pengadaan minyak sayur untuk Irak.
Ban juga berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari Perancis. Biografi resmi yang dimilikinya mencatat bahwa ia mampu berbahasa Inggris dan Perancis, dua bahasa utama yang digunakan di sekretariat PBB. Ia berulang kali kesulitan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh para wartawan dalam bahasa Perancis. Dalam sebuah konferensi pers pada 11 Januari 2007, ia menyatakan bahwa "Bahasa Perancis saya mungkin bisa lebih diperbaiki, dan saya akan terus berusaha memperbaikinya. Saya telah mengambil kursus bahasa Perancis dalam beberapa bulan ini. Saya pikir, walaupun bahasa Perancis saya tidak bagus, saya akan tetap beruaha mempelajarinya." Dengan semakin dekatnya pemilihan Sekretaris-Jenderal, kritikan terhadap Ban sebagai wakil Korea Selatan semakin meningkat. Beberapa artikel menuliskan bahwa Ban telah menemui semua anggota Dewan Keamanan dalam perannya sebagai Menteri Luar Negeri dan Perdagangan untuk mendapatkan dukungan lewat perjanjian kerjasama dalam bidang perdagangan dengan negara - negara Eropa serta janji untuk memberikan bantuan kepada negara-negara berkembang. Menurut The Washington Post,"calon lain telah mengungkapkan kekesalannya kepada Korea Selatan, yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar kesebelas di dunia karena telah menggunakan pengaruh ekonominya untuk memperkuat pencalonan Ban." Atas pernyataan ini, Ban membalasnya dengan mengatakan bahwa “Sebagai seorang calon pemimpin, saya tahu bahwa saya akan menjadi target atas proses yang sedang diamati oleh banyak kepentingan ini dan saya adalah orang yang memegang integritas."
Ban menduduki tempat teratas pada setiap kali pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB pada 24 Juli,14 September, dan 28 September. Dalam pengumpulan pendapat kedua, ia memperoleh 14 suara "yang menggembirakan" dan 1 suara "yang mengecewakan". The Australian melaporkan bahwa satu suara yang mengecewakan itu berasal dari Qatar, yang menyiratkan bahwa Ban mendapatkan dukungan dari kelima anggota tetap Dewan Keamanan yang mempunyai hak untuk memveto kandidat. Pada pengumpulan pendapat ketiga, Ban memperoleh 13 suara yang menggembirakan, satu suara yeng mengecewakan, dan satu suara “tidak ada pendapat”. Tidak jelas apakah ke-13 pendukungnya kali ini mencakup kelima anggota tetap Dewan Keamanan. Pengumpulan pendapat keempat dilangsungkan pada 2 Oktober. Pengumpulan suara kali ini diberi kode warna untuk membedakan antara suara anggota tetap dan yang tidak tetap. Pada pemungutan suara final secara informal yang diadakan pada 2 Oktober dalam Dewan Keamanan, Ban menerima empat belas suara yang menyatakan setuju serta satu suara abstain dari anggota Dewan Keamanan PBB. Satu suara abstain diberikan oleh delegasi Jepang yang menentang ide seorang berkebangsaan Korea menduduki peran sebagai Sekretaris-Jenderal. Dukungan yang sangat besar kepada Ban oleh seluruh anggota Dewan Keamanan PBB, Jepang akhirnya mendukung Ban untuk mengurangi kontroversi. Hal lain yang lebih penting, Ban adalah satu-satunya calon yang terhindar dari hak veto, kandidat lainnya minimal menerima satu suara "tidak" oleh anggota tetap Dewan Keamanan. Setelah pemilihan, Shashi Tharoor, yang menduduki tempat kedua kemudian mundur dari pencalonan dirinya. dan Wakil Tetap RRC untuk PBB mengatakan kepada media bahwa "semuanya telah jelas berdasarkan hasil pemungutan suara hari ini bahwa Ban Ki-Moon adalah kandidat yang akan direkomendasikan oleh Dewan Keamanan kepada Majelis Umum."
Pada 9 Oktober, Dewan Keamanan PBB resmi mencalonkan Ban sebagai Sekretaris Jenderal PBB yang baru. Keputusan ini masih harus dikukuhkan oleh Sidang Umum PBB yang akan bertemu pada akhir tahun 2006. Pada 13 Oktober, 192 anggota Majelis Umum mengesahkan Ban sebagai Sekretaris-Jenderal. Saat Ban menjadi Sekretaris-Jenderal, di tahun 2007, The Economist membuat daftar tantangan yang harus ia hadapi:"meningkatnya ancaman nuklir di Iran dan Korea Utara, konflik di Darfur, kekerasan yang tidak pernah selesai di Timur Tengah, ancaman bencana alam, meningkatnya ancaman terorisme internasional, berkembangnya senjata pemusnah massal, penyebaran HIV/AIDS dan beberapa hal lain seperti bisnis raksasa yang tidak pernah habis mengenai usaha untuk mereformasi dalam sejarah PBB." Sebelumnya, Kofi Annan bercerita mengenai Trygve Lie, Sekretaris-Jenderal yang pertama, ia meninggalkan pesan kepada penerusnya, Dag Hammarskjöld, "Kamu akan mengambil alih pekerjaan paling penting di dunia." Pada 23 Januari 2007 Ban mulai bekerja sebagai Sekretaris-Jenderal PBB kedelapan. Masa jabatan Ban sebagai Sekretaris-Jenderal dimulai dengan kejutan. Pada 2 Januari 2007, awal pertemuannya dengan pers sebagai Sekretaris-Jenderal, ia menolak menjatuhkan hukuman mati kepada Saddam Hussein yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Irak. Pernyataan Ban bertolak belakang dengan kesepakatan jangka panjang dari PBB mengenai penolakan pinalti hukuman mati sebagai sebuah kepentingan hak asasi manusia. Ia segera mengklarifikasi pernyataannya dalam kasus Barzan al-Tikriti dan Awad al-Bandar, dua petinggi utama yang dinyatakan bersalah atas meninggalnya 148 kaum Muslim Syiah di desa Dujail, Irak pada dekade 1980an. Dalam sebuah pernyataan lewat juru bicaranya pada 6 Januari, ia "dengan keras mendesak pemerintah Irak untuk memberikan penundaan eksekusi kepada mereka yang akan dihukum mati dalam waktu dekat." Dalam isu yang lebih luas, ia mengatakan kepada seorang audiensi di Washington, D.C. bahwa ia mendorong "tren global yang sedang berkembang dalam himpunan masyarakat internasional, hukum internasional dan kebijakan domestik serta kebiasaan untuk menarik secara bertahap kebijakan pinalti hukuman mati" Kabinet
Ban Ki-moon bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Pada awal Januari, Ban menunjuk beberapa anggota penting dalam kabinetnya. Asha-Rose Migiro, professor dan menteri luar negeri asal Tanzania dipilih untuk menjabat sebagai Deputi Sekretaris Jenderal - sebuah regenerasi yang menggembirakan bagi para diplomat Afrika karena mereka tidak kehilangan wakilnya setelah Annan tidak lagi menjabat. Jabatan Wakil Sekretaris-Jenderal Manajemen diisi oleh Alicia Bárcena Ibarra dari Meksiko. Sebelumnya Bárcena bekerja sebagai kepala staf dibawah pimpinan Annan. Penunjukkannya oleh Ban dipandang sebagian orang sebagai kritik dan indikasi yang diperkirakan tidak akan membuat perubahan besar dalam birokrasi PBB. Ban menunjuk Sir John Holmes, Duta Besar Britania Raya untuk Perancis, sebagai Wakil Sekretaris Jenderal untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat. Pada awalnya, Ban menyatakan bahwa ia akan menunda membuat janji lain hingga putaran pertama program reformasi PBB terlaksana, tetapi kemudian ia mengabaikan ide ini setelah menerima kritik. Pada bulan Februari, ia melanjutkan janjinya, memilih B. Lynn Pascoe, Duta Besar AS untuk Indonesia, menjadi Wakil Sekretaris-Jenderal untuk urusan politik. Jean-Marie Guéhenno, diplomat asal Perancis yang telah bekerja pada periode Annan sebagai Wakil Sekretaris-Jenderal untuk operasi perdamaian dipertahankan posisinya. Ban memilih Vijay K. Nambiar sebagai Kepala Staf. Janji untuk menempatkan banyak wanita di bagian jabatan yang penting dilihat sebagai janji kampanye yang direalisasikan oleh Ban. Selama satu tahun sebagai Sekretaris Jenderal, jabatan utama dan penting dipegang oleh wanita lebih banyak daripada masa - masa sebelumnya. Walaupun tidak ditunjuk langsung oleh Ban, Presiden Sidang Umum, Haya Rashed Al-Khalifa, menjadi wanita ketiga yang memegang posisi tersebut dalam sejarah PBB.
Ban mengajukan dua restrukturisasi besar selama bulan-bulan awal jabatannya; memisahkan operasi perdamaian PBB menjadi dua departemen dan menggabungkan bagian urusan politik dengan departemen perlucutan senjata. Rencana ini mendapat perlawanan dari anggota Sidang Umum PBB yang menolak agar rencana Ban dapat segera diterima. Rencana penggabungan ini juga dikritisasi oleh banyak negara berkembang. Rumor yang beredar bahwa Ban mengharapkan menempatkan seorang Amerika, B. Lynn Pascoe di kantor baru. Alejandro D. Wolff, kemudian bertindak sebagai Duta Besar Amerika Serikat, kata Amerika Serikat membalas rencana tersebut. Sekretaris-Jenderal PBB memilik peran untuk terlibat aktif dalam debat mengenai hampir seluruh isu - isu global. Walaupun tidak berhasil dalam beberapa bidang, Annan sebagai pendahulu Ban berhasil meningkatkan peran PBB dalam bidang perdamaian dan memopulerkan Sasaran Pembangunan Milenium. Para pengamat PBB menunggu isu-isu yang akan diangkat dan difokuskan oleh Ban, sebagai bagian dari janjinya untuk mereformasi birokrasi PBB. Pemanasan global
Mantan Presiden AS George W. Bush berbincang dengan Sekretaris-Jenderal PBB Ban Ki-moon. Dalam pertemuan mereka, Ban menekankan masalah kurangnya kepedulian Amerika Serikat terhadap masalah pemanasan global. Ban mengungkapkan bahwa pemanasan global adalah salah satu isu penting dalam kebijakannya. Dalam pertemuan dengan presiden Amerika Serikat George W. Bush di Gedung Putih, Ban mendesak Bush untuk mengambil langkah membatasi emisi gas rumah kaca. Pada 1 Maret 2007, dalam pidatonya sebelum sidang Majelis Umum PBB, Ban lebih lanjut menekankan kepeduliannya terhadap pemanasan global. Ia menyatakan “Bagi generasi saya, lahir pada masa sulitnya Perang Dingin, ketakutan terhadap nuklir musim dingin sepertinya menjadi masalah yang amat penting. Namun dampak yang ditimbulkan atas perang dan dampaknya bagi planet kita sangat berhubungan erat dengan masalah perubahan iklim."
Pada Kamis, 22 Maret 2007, ketika Ban melakukan kunjungan di Timur Tengah, sebuah bom mortar meledak sekitar 80 meter dari tempat dimana Sekretaris-Jenderal berdiri, mengganggu kegiatan jumpa pers yang diadakan di zona hijau Baghdad. Kejadian ini mengejutkan Ban dan yang lainnya. Tidak ada yang terluka dalam insiden tersebut. PBB telah membatasi aktivitasnya di Irak setelah perwakilannya di Baghdad diledakkan pada Agustus 2003, mengakibatkan 22 orang meninggal dunia. Namun, Ban tetap mengharapkan agar dapat menemukan solusi terbaik untuk PBB untuk "berbuat lebih bagi perkembangan kehidupan politik dan sosial di Irak." Dalam kunjungannya di Timur Tengah, Ban mengunjungi Mesir, Israel, Tepi barat, Yordania, Lebanon dan Arab Saudi. Ban juga menghadiri konferensi dengan para pemimpin Liga Arab dan bertemu dengan Omar Hassan al-Bashir, presiden Sudan yang menolak pasukan keamanan PBB di Darfur. Saat Ban bertemu dengan Mahmoud Abbas, presiden Palestina, ia menolak untuk bertemu dengan Ismail Haniya yang berasal dari Hamas. Pada 10 Maret 2008, Ban mengeluarkan kritikan terhadap Israel yang membangun permukiman di Tepi barat dan keputusan Israel tersebut bertentangan dengan "kewajiban Israel dibawah peta jalan" untuk perdamaian di Timur Tengah.
Ban dua kali memperoleh penghargaan Bintang Jasa pada tahun 1975, 1986, dan 2006 dari Pemerintah Republik Korea. Atas keberhasilannya sebagai duta besar, ia memperoleh Bintang Kehormatan Besar dari Republik Austria pada 2001. Setahun kemudian, pemerintah Brasil menganugerahi Salib Agung Rio Branco kepadanya. Pada September 2005, Masyarakat Korea di New York menganugerahkan kepadanya penghargaaan Van Fleet atas sumbangannya untuk persahabatan AS-Republik Korea.
Sumber: http://id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar