Tidak ada ummat yang Allah manjakan dengan lautan nikmat seperti Bani
Israel. Allah melebihkan yahudi israel atas segala umat, seperti yang
Allah tegaskan dalam Al-Quran surat Al Baqarah:47 yang sama bunyinya
dengan 122:
يٰبَنِىۡٓ اِسۡرَآءِيۡلَ اذۡكُرُوۡا نِعۡمَتِىَ الَّتِىۡٓ اَنۡعَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ وَاَنِّىۡ فَضَّلۡتُكُمۡ عَلَى الۡعٰلَمِيۡنَ ﴿۴۷﴾
“Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan
kamu atas segala umat”. (QS. Al Baqarah:47)
Setidak-tidaknya ada lima keistimewaan yang Allah karuniakan kepada
Bani Israil, namun tidak mereka syukuri, yakni: senantiasa diayomi para
Nabi dan Rasul, diiringi berbagai pertolongan dari-Nya dengan
diturunkan mu’zizat, dianugerahi negeri keberkahan sebagai tempat
menetap, hidup “mendampingi” tiga kitab suci (Taurat, Injil dan Al
Quran), dan tahu persis sosok pembawa risalah terakhir sebagaimana
layaknya mereka mengenal anak-anak sendiri. Berikut ini adalah
penjelasannya.
1. Diayomi para Nabi-Rasul
Ini adalah keistimewaan tersendiri bagi mereka. Yakni, senantiasa diiringi para Nabi dan Rasul. Sebagaimana dalam hadistnya:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ
كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي
وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ
اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Artinya: “Dahulu bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي
وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا
بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ
اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
setiap meninggal seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya, sesungguhnya
setelahku ini tidak ada Nabi dan akan ada setelahku beberapa khalifah
bahkan akan bertambah banyak, sahabat bertanya: ”Apa yang tuan
perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berikan pada mereka haknya. Maka sesungguhnya Allah akan menanya mereka tentang hal apa yang diamanatkan dalam kepemimpinannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Dari masa ke masa para Rasulullah yang mengayomi Bani Israel adalah
Nabi Ya’kub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Harun, Nabi Daud, Nabi
Sulaiman, Nabi Zakaria, Nabi Isa dan Nabi Yahya alaihimussalam.
Semuanya para Rasul tersebut membawa risalah tauhid, agar Bani Israel
senantiasa menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tanpa menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun. Seperti yang diwasiyatkan oleh Nabi Ya’kub (Nabi
Israel) ketika beliau menjelang dipanggil Allah (QS. Al Baqarah:133).
Atau dalam hitungan rentang waktu mulai dari masa hidup Nabi Ya’kub alaihissalam (sekitar 1837-1690 SM) hingga diutusnya Muhammad Shallallahu ‘Alaihiwasallam, sebagai Nabi untuk seluruh ummat di akhir zaman, tahun 571 m. Jadi ada rentang waktu sekitar 2400an tahun.
Nabi Ya’kub hidup satu masa dengan Nabi Yusuf, sebagai Bapak dan
Anak. Nabi Musa dan Harun juga satu masa. Nabi Harun Allah utus untuk
membantu Nabi Musa alaihimussalam. Nabi Daud dan Sulaiman juga
hidup satu masa dalam hubungan bapak dan anak. Nabi Sulaiman melanjutkan
kejayaan kerajaan Nabi Daud alaihimussalam. Terakhir Nabi Zakaria, Isa
dan Yahya alaihimussalam. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
Allah memerintahkan kepada Bani Israel lima perkara yang disampaikan
oleh Nabi Yahya, beliau bersama Nabi Isa alaihimussalam.
Dari Al Harits Al ‘Asyari, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihiwasallam pernah bersabda “Sesungguhnya
Allah memerintahkan kepada Yahya ibnu Zakariya alaihissalam untuk
mengamalkan lima kalimat dan memerintahkan kepada Bani Israel untuk
mengamalkannya. Akan tetapi Yahya alaihissalam hampir terlambat untuk
mengamalkannya sehingga Isa alaihissalam berkata kepadanya:
“Sesungguhnya kamu telah diperintahkan untuk mengamalkan lima kalimat.
Kamu pun memerintahkan Bani Israel agar mereka mengamalkannya. Apakah
kamu yang menyampaikannya atau diriku?” Yahya menjawab: “Hai
saudaraku sesungguhnya aku merasa takut jika kamu yang menyampaikannya
nanti aku akan diazab atau dikutuk”. Kemudian Yahya bin Zakaria
mengumpulkan Bani Israel di Baitul Muqaddas sehingga mesjid menjadi
penuh oleh mereka. Yahya duduk di atas tempat yang tinggi kemudian
memuji dan menyanjung Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kemudian ia mengatakan,
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku lima kalimat, DIA
memerintahkan pula agar kalian mengamalkannya. Pertama, hendaklah kalian
menyembah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Karena sesungguhnya perumpamaan orang yang mempersekutukan Allah itu
seperti keadaan seorang laki-laki yang membeli seorang budak dengan
uangnya sendiri secara murni, baik uang perak maupun uang emas. Lalu si
budak bekerja dan memberikan hasil penjualan jasanya itu kepada selain
tuannya. Maka siapakah diantara kalian yang suka diperlakukan demikian?
Sesungguhnya Allah lah yang menciptakan kalian dan memberi rezeki
kalian. Maka sembahlah Dia oleh kalian jangan mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun. Allah memerintahkan kalian untuk mengerjakan shalat,
karena sesungguhnya Zat Allah berada dihadapan hamba Nya selagi si hamba
(yang sedang sholat itu) tidak menoleh. Karena itu apabila kalian
sedang sholat janganlah menoleh. Allah telah memerintahkan kalian untuk
berpuasa, karena sesungguhnya perumpamaan puasa itu seperti keadaan
seorang laki-laki yang membawa sebotol minyak kesturi berada di
tengah-tengah segolongan kaum, lalu mereka dapat mencium wanginya minyak
kesturi. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi
Allah daripada wanginya minyak kesturi. Allah memerintahkan kalian
untuk bersedekah, karena sesungguhnya perumpamaan sedekah itu seperti
laki-laki yang ditawan musuh, dan mengikat kedua tangannya ke lehernya,
lalu mengajukannya untuk menjalani hukuman pancung. Kemudian laki-laki
itu berkata, “Bolehkah aku menebus diriku dari kalian?” Lalu lelaki itu
menebus dengan semua miliknya, baik yang bernilai murah maupun yang
bernilai mahal, sehingga dirinya terbebas. Allah memerintahkan kalian
untuk berzikir dengan banyak mengingat Allah, karena sesungguhnya
perumpamaan hal itu seperti keadaan seorang lelaki yang dikejar-kejar
musuh yang memburunya dengan cepat dari belakang. Kemudian lelaki itu
sampai ke suatu benteng lalu ia berlindung ke dalam benteng (dari
kejaran musuhnya). Sesungguhnya tempat yang paling kuat bagi seorang
hamba untuk melindungi dirinya dari setan adalah bila ia selalu dalam
kedaan berzikir mengingat Allah. …” HR.Ahmad dan Tirmidzi, pen).
Tentu saja banyak sekali hal-hal yang istimewa hidup bersama para
Nabi, mereka bisa senantiasa kontak dengan wahyu-wahyu Allah,
berinteraksi langsung dengan keindahan akhlak manusia terbaik dan
diperlihatkan berbagai mu’zizat atas izin-Nya. Hidup berdampingan dengan
para Nabi berarti tertutup rapat celah keraguan terhadap risalah yang
Allah turunkan. Karena semuanya terang di depan mata. Penolakan terhadap
kebenaran risalah para Nabi pada waktu itu, bukan karena kaburnya
berita namun lantaran human eror, hatinya rusak tertutupi oleh penyakit-penyakit nifaq, hasad, ujub, fasik, dan lain sebagainya.
Hidup mendampingi para Nabi adalah sebuah kehormatan karena diberi
kesempatan untuk mengukir sejarah kebaikan bersama manusia-manusia yang
langsung menerima wahyu dari Allah.
Inilah yang seharusnya dirasakan oleh Bani Israel. Pengayoman dari
satu Nabi ke Nabi lainnya semestinya membuat mereka semakin menjadi
ummat yang sholeh. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Tanpa rasa malu, mereka menunjukkan sifat dan perilaku yang menjijikkan.
Satu demi satu nabi yang diutus kepada mereka, alih-alih ditaati dan
diimani, justru menjadi sasaran kedurhakaan serta perilaku melampaui
batas lainnya. Allah nyatakan dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 87:
وَ لَقَدۡ اٰتَيۡنَا مُوۡسَى الۡكِتٰبَ وَقَفَّيۡنَا مِنۡۢ
بَعۡدِهٖ بِالرُّسُلِ وَاٰتَيۡنَا عِيۡسَى ابۡنَ مَرۡيَمَ الۡبَيِّنٰتِ
وَاَيَّدۡنٰهُ بِرُوۡحِ الۡقُدُسِؕ اَفَكُلَّمَا جَآءَكُمۡ رَسُوۡلٌۢ
بِمَا لَا تَهۡوٰٓى اَنۡفُسُكُمُ اسۡتَكۡبَرۡتُمۡۚ فَفَرِيۡقًا
كَذَّبۡتُمۡ وَفَرِيۡقًا تَقۡتُلُوۡنَ ﴿۸۷﴾
Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab بَعۡدِهٖ بِالرُّسُلِ وَاٰتَيۡنَا عِيۡسَى ابۡنَ مَرۡيَمَ الۡبَيِّنٰتِ
وَاَيَّدۡنٰهُ بِرُوۡحِ الۡقُدُسِؕ اَفَكُلَّمَا جَآءَكُمۡ رَسُوۡلٌۢ
بِمَا لَا تَهۡوٰٓى اَنۡفُسُكُمُ اسۡتَكۡبَرۡتُمۡۚ فَفَرِيۡقًا
كَذَّبۡتُمۡ وَفَرِيۡقًا تَقۡتُلُوۡنَ ﴿۸۷﴾
(Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut)
sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti
kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya
dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa
sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu
menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan
beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?.
2. Diiringi Pertolongan Allah & Ditampakkan Mu’zizat
Kenikmatan berikutnya adalah mereka senantiasa diiringi pertolongan dari Allah ‘Azza Wa Jalla.
Allah bebaskan mereka dari kekejaman Fir’aun si penguasa Mesir,
sekaligus ditampakkan mu’zizat besar di depan mata mereka, yakni
terbelahnya lautan. Mereka selamat hingga ke seberang sana, sementara
musuh yang menindas mereka, Allah tenggelamkan. Al Qur’an menyebutkan
hal ini:
وَاِذۡ نَجَّيۡنٰکُمۡ مِّنۡ اٰلِ فِرۡعَوۡنَ يَسُوۡمُوۡنَكُمۡ
سُوۡٓءَ الۡعَذَابِ يُذَبِّحُوۡنَ اَبۡنَآءَكُمۡ وَيَسۡتَحۡيُوۡنَ
نِسَآءَكُمۡؕ وَفِىۡ ذٰلِكُمۡ بَلَاۤءٌ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ عَظِيۡمٌ
﴿۴۹﴾ وَاِذۡ فَرَقۡنَا بِكُمُ الۡبَحۡرَ فَاَنۡجَيۡنٰکُمۡ وَاَغۡرَقۡنَآ
اٰلَ فِرۡعَوۡنَ وَاَنۡتُمۡ تَنۡظُرُوۡنَ ﴿۵۰﴾
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari سُوۡٓءَ الۡعَذَابِ يُذَبِّحُوۡنَ اَبۡنَآءَكُمۡ وَيَسۡتَحۡيُوۡنَ
نِسَآءَكُمۡؕ وَفِىۡ ذٰلِكُمۡ بَلَاۤءٌ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ عَظِيۡمٌ
﴿۴۹﴾ وَاِذۡ فَرَقۡنَا بِكُمُ الۡبَحۡرَ فَاَنۡجَيۡنٰکُمۡ وَاَغۡرَقۡنَآ
اٰلَ فِرۡعَوۡنَ وَاَنۡتُمۡ تَنۡظُرُوۡنَ ﴿۵۰﴾
(Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan
yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan
membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu
terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu. Dan (ingatlah), ketika
Kami belah lautan untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami
tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri
menyaksikan. QS. Al Baqarah: 49-50
Tidak banyak ummat yang mengalami keunikan sejarah seperti yang dirasakan oleh Bani Israel. Mu’zizat
terbelahnya lautan ditampakkan di depan mata mereka, satu peristiwa
yang sekaligus menghimpun empat hal yang pasti mereka inginkan yakni
pertolongan Allah, mu’zizat, kebinasaan musuh dan kemenangan mereka.
Sampai di sini sebenarnya, sudah sangat lebih dari cukup untuk
menancapkan keimanan yang dalam kepada Allah. Karena semua celah sudah
tertutupi. Celah kegalauan karena merasa tidak diperhatikan Allah, Allah
jawab dengan turunnya pertolongan dari-Nya. Celah logika yang sering
liar tidak terkontrol, Allah tundukkan dengan ditampakkannya di depan
mata, kekuasaan Nya yang tidak mampu dilakukan oleh siapapun selain Nya,
yakni terbelahnya lautan. Celah merosotnya harga diri akibat sejarah
penindasan yang dialami selama ini, Allah pungkasi dengan kebinasaan
musuh di depan mata mereka yang berarti pula kemenangan bagi mereka.
Pertanyaannya, benarkah Bani Israel menjadi ummat yang benar-benar beriman setelah peristiwa itu?
Jawabannya seperti yang anda ketahui, mereka tidak berubah melainkan
segolongan kecil yang istiqomah beriman dan bersyukur. Bahkan bisa
dikatakan mu’zizat yang tampak jelas di depan mata mereka tersebut,
seperti angin lalu tidak membekas sama sekali. Mengapa? Karena iman
adalah perkara hati, kalau hatinya penuh borok dan berselimut noktah,
maka meski hidup ditengah-tengah Rasul, setiap hari mendengar ayat-ayat
Allah, selalu ditampakkan mu’zizat didepan mata, dimuliakan dengan
berbagai pertolongan Allah, tetap saja mereka tidak beriman. Itulah hati
yang mati, yang hanya bersemayam di dada orang-orang yang kufur kepada
Allah.
اِنَّ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا سَوَآءٌ عَلَيۡهِمۡ
ءَاَنۡذَرۡتَهُمۡ اَمۡ لَمۡ تُنۡذِرۡهُمۡ لَا يُؤۡمِنُوۡنَ ﴿۶﴾ خَتَمَ
اللّٰهُ عَلَىٰ قُلُوۡبِهِمۡ وَعَلٰى سَمۡعِهِمۡؕ وَعَلٰىٓ اَبۡصَارِهِمۡ
غِشَاوَةٌ وَّلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيۡمٌ ﴿۷﴾
Artinya: Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, ءَاَنۡذَرۡتَهُمۡ اَمۡ لَمۡ تُنۡذِرۡهُمۡ لَا يُؤۡمِنُوۡنَ ﴿۶﴾ خَتَمَ
اللّٰهُ عَلَىٰ قُلُوۡبِهِمۡ وَعَلٰى سَمۡعِهِمۡؕ وَعَلٰىٓ اَبۡصَارِهِمۡ
غِشَاوَةٌ وَّلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيۡمٌ ﴿۷﴾
kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga
akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan
penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. (QS. Al Baqarah: 6-7)
3. Dianugerahi Negeri Keberkahan Sebagai Tempat Menetap
Keistimewaan ketiga yang dianugerahkan Allah kepada Bani Israel
adalah negeri keberkahan sebagai tempat menetap. Pada tulisan terdahulu (Petaka Yahudi Akibat Hianati Perjanjian) sedikit banyak telah dikupas, berkenaan dengan kalimat mitsaqon gholizho, yang
dalam konteks Bani Israel adalah perintah tunduk ketika memasuki
Baitul Maqdis dan larangan pengabaian syariat hari Sabat. Ternyata
perintah tersebut tidak mereka taati kecuali sedikit yang istiqomah.
Meskipun selanjutnya mereka berhasil masuk ke kota Yerusalem, namun
keburukan tabiat mereka tidak pernah hilang hingga akhirnya mereka
dihukum oleh Allah dengan berbagai peristiwa memilukan, seperti
pengusiran, pembunuhan, dijadikan budak, dan lain sebagainya.
Penjelasan tersebut di atas adalah bagian dari anugerah negeri
keberkahan sebagai tempat menetap. Tapi mengapa justru lebih banyak
peristiwa tragis yang mereka alami di Yerusalem ? Hal ini karena mereka
tidak mensyukuri nikmat. Sejak dulu hingga sekarang, rumus kenikmatan
hanya satu: Jika disyukuri maka nikmat akan bertambah, sebaliknya jika
dikufuri azab akan Allah turunkan (QS. Ibrahim:7). Jadi ketika mereka
tidak bersyukur terhadap negeri keberkahan yang Allah karuniakan kepada
mereka, turunlah bencana dan berbagai penderitaan dari waktu ke waktu.
Awalnya Yerusalem memang menjadi negeri yang dianugerahkan kepada
mereka oleh Allah, seperti yang termaktub dalam Al Quran surah Al Maidah
ayat 21.
يٰقَوۡمِ ادۡخُلُوا الۡاَرۡضَ الۡمُقَدَّسَةَ الَّتِىۡ كَتَبَ
اللّٰهُ لَـكُمۡ وَلَا تَرۡتَدُّوۡا عَلٰٓى اَدۡبَارِكُمۡ
فَتَـنۡقَلِبُوۡا خٰسِرِيۡنَ ﴿۲۱﴾
Artinya: Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang اللّٰهُ لَـكُمۡ وَلَا تَرۡتَدُّوۡا عَلٰٓى اَدۡبَارِكُمۡ
فَتَـنۡقَلِبُوۡا خٰسِرِيۡنَ ﴿۲۱﴾
telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang
(karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.
Di dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa kata allati kataballahu lakum
pada ayat di atas dimaksudkan adalah yang telah dijanjikan Allah
kepadamu dalam keterangan ayahmu dahulu Ya’qub (Israel) bahwa kalian
akan mewarisi kota itu selama kalian tetap beriman, karena itu kalian
jangan mundur ke belakang, niscaya kalian akan merugi.
Masih dalam Tafsir Ibnu Katsir, secara ringkas diceritakan bahwa Nabi
Musa mengajak kaumnya (Bani Israel) untuk berjihad dan masuk Baitul
Maqdis yang dahulu dikuasakan atas tangan mereka di masa Nabi Ya’qub,
ketika pindah bersama putra-putranya ke Mesir di masa kerajaan Nabi
Yusuf alaihissalam kemudian tinggal menetap di sana, sampai mereka keluar bersama Musa alaihissalam.
Ketika itu mereka mendapati di Baitul Maqdis orang-orang gagah perkasa
telah menguasainya, dan kini Nabi Musa mengajak mereka untuk berjihad
dan masuk ke negeri itu, dan pasti akan menang dengan pertolongan Allah.
Tetapi Bani Israel menolak ajakan Nabi Musa alaihissalam, sehingga mereka dihukum oleh Allah dengan diharamkan kota itu atas mereka, dan mereka
harus menjadi perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggalnya
selama empat puluh tahun karena tidak mentaati perintah Allah yang
diturunkan kepada Nabi Musa alaihissalam.
Selama Allah mengutus para nabi dari kalangan Bani Israel, selama itu
pula Yerusalem dijanjikan untuk mereka. Ini menjadi nikmat tersendiri,
karena Yerusalem adalah tanah yang diberkahi oleh Allah sejak masa
dahulu.
Namun Bani Israel tidak pernah mensyukuri nikmat ini, kecuali sedikit
dari kalangan mereka. Ayat yang disebutkan di atas, QS. Al Maidah:21,
tentang penyebutan Baitul Maqdis (Al Ardhol Muqoddasah) sebagai
tempat yang telah ditetapkan untuk mereka, dilanjutkan dengan ayat-ayat
berikutnya tentang keburukan tabiat mereka yang tidak menghargai
kesucian Baitul Maqdis, sekaligus memperlihatkan kedangkalan keimanan
mereka. Mereka menjawab ajakan jihad Nabi Musa alaihissalam dengan
cemoohan: “Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan
memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu
pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua,
sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja.” QS. Al Maidah: 24.
Dalam ayat lain disebutkan, ketika turun perintah Allah kepada mereka
untuk memasuki Baitul Maqdis tersebut, orang-orang zalim dari kalangan
mereka mengubah perintah dengan sesuatu yang lain yang tidak
diperintahkan kepada mereka. Ayat tersebut terdapat dalam (QS. Al
Baqarah: 58-59)
وَاِذۡ قُلۡنَا ادۡخُلُوۡا هٰذِهِ الۡقَرۡيَةَ فَکُلُوۡا
مِنۡهَا حَيۡثُ شِئۡتُمۡ رَغَدًا وَّادۡخُلُوا الۡبَابَ سُجَّدًا
وَّقُوۡلُوۡا حِطَّةٌ نَّغۡفِرۡ لَـكُمۡ خَطٰيٰكُمۡؕ وَسَنَزِيۡدُ
الۡمُحۡسِنِيۡنَ ﴿۵۸﴾ فَبَدَّلَ الَّذِيۡنَ ظَلَمُوۡا قَوۡلاً غَيۡرَ
الَّذِىۡ قِيۡلَ لَهُمۡ فَاَنۡزَلۡنَا عَلَى الَّذِيۡنَ ظَلَمُوۡا رِجۡزًا
مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا كَانُوۡا يَفۡسُقُوۡنَ ﴿۵۹﴾
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu keمِنۡهَا حَيۡثُ شِئۡتُمۡ رَغَدًا وَّادۡخُلُوا الۡبَابَ سُجَّدًا
وَّقُوۡلُوۡا حِطَّةٌ نَّغۡفِرۡ لَـكُمۡ خَطٰيٰكُمۡؕ وَسَنَزِيۡدُ
الۡمُحۡسِنِيۡنَ ﴿۵۸﴾ فَبَدَّلَ الَّذِيۡنَ ظَلَمُوۡا قَوۡلاً غَيۡرَ
الَّذِىۡ قِيۡلَ لَهُمۡ فَاَنۡزَلۡنَا عَلَى الَّذِيۡنَ ظَلَمُوۡا رِجۡزًا
مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا كَانُوۡا يَفۡسُقُوۡنَ ﴿۵۹﴾
negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang
banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya
sambil bersujud, dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya
Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah
(pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik”. (58). Lalu
orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang
tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas
orang-orang yang zalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat
fasik. (59) “
Akhirnya, karena mereka tidak mensyukuri nikmat negeri keberkahan
ini, mereka tidak sepenuhnya menempatkannya sebagaimana yang Allah
perintahkan, maka bukan keberkahan yang mereka dapatkan, melainkan
berbagai fitnah kesengsaraan. Diusir, dibumihanguskan, dan dihancurkan
sehingga terlunta-lunta ke seluruh penjuru negeri.
Semuanya menjadi jelas bagi Bani Israel. Ketika Yerusalem diwariskan kepada mereka, mereka melecehkan dan mengabaikannya,
bagaimana mungkin disaat amanah untuk mewarisi Yerusalem itu Allah
cabut dari mereka dan diserahkan kepada umat lain, mereka justru merasa
berhak atasnya? Sungguh jauh panggang dari api. Kalaupun mereka
berhasil menguasainya, bukan karena anugerah terhadap tanah yang
dijanjikan, seperti yang mereka hayalkan, namun Allah berkehendak untuk
memperlihatkan tindak kezaliman yang mereka lakukan sebelum kehancuran
mereka akhir zaman.(L/P004/R03)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar