Minggu, 26 Juli 2015

YAHUDI NENEK MOYANG ORANG INDONESIA,Meluruskan Jejak Peradaban, Sebuah Perjalanan Iman.



Bisa dimengerti bila ada kemiripan antara kata pagar pada Pagaruyuang dengan pajar pada Pajajaran.


Dari kaidah (grammar) bahasa Sunda itu sendiri, pajajar adalah bentuk jamak dari pajar (pagar).


Bahasa Minang kuno juga memiliki pola pembentukan jamak seperti Sunda
(budak & barudak) seperti ambiak & parambiak (ambil/sampel),
atau sisiak & karisiak (sisik) dan ambau & tarambau (jatuh
karena kaget) atau tunjuak jadi talunjuak.


Selain itu juga amuak dan karimuak (remuk), tabuak jadi tarubuak atau
tagarubuak (terjerumus) atau sato menjadi sarato (ikut serta).


Juga ada persamaan pada penamaan tempat-tempat pemukiman (riang atau
ruang) seperti Pariangan di Padang Panjang, Sumatera Barat dan Priangan
(parahiyangan) yang meliputi beberapa wilayah di dataran tinggi Jawa
Barat termasuk Bogor, Sukabumi, Bandung sampai ke Sumedang.


Persamaan lain juga terlihat pada penggunaan kata-kata seperti
talungkuik (tengkurap) dengan tangkuban, gadang dengan gede, juga
semisal sado (nyo) dengan sadaya (na) yang artinya semua, atau juga baso
dan basa (bahasa).


Kata-kata lain yang mirip dan umum dipakai sampai hari ini adalah
kama / kamano dengan kamana, ada juga sia dengan saha, atau bara dengan
sabaraha (berapa), dan umpamo (umpama) dengan pami atau budak (anak),
dan barek dengan beurat (berat).


Sementara kemiripan bahasa Minang dengan bahasa Batak bisa dilihat
kata-kata seperti serunai (suling batang padi) di wilayah Karo atau
seperti gadang dengan godang, ngenek dengan menek (kecil), etek (bibi)
dan uda (kakak lelaki di Minang, tapi paman di Batak) di wilayah
Mandailing.


Seperti halnya dengan suku Sunda, Batak bisa juga disebut Minang Muda (deutro Minangkabau).


Menurut salah satu tulisan di blog yang saya baca, salah satu marga
(marga) dalam suku Batak seperti Nasution berasal dari kata-kata
Minangkabau yakni (Datuk) Nan Sati.


Akhiran on mengindikasikan sifat posesif (kepemilikan) sehingga
Nasution bisa diterjemahkan menjadi "milik (tanah/keluarga) Nan Sati."


Kelahiran deutro-deutro Minangkabau seperti Deli, Batak, Jambi, Riau,
Palembang, Sunda, Jawa, Banjar, Bugis, Moro dan lain-lain dipicu a.l.
oleh budaya rantau dan kultur matriarkat yang mewariskan harta dan tanah
hanya kepada kaum perempuan, sehingga kaum lelaki lebih banyak memilih
ke luar ketimbang berdiam di kampung asal.


Setelah menetap di satu tempat, mereka umumnya tak lagi memakai adat
matriarkat, dan mulai menciptakan kultur dan pola peradaban baru seiring
masuknya pendatang Hindu dan Budha dari wilayah Asia lainnya.


Salah satu ciri-ciri deutro yang sulit dipungkiri adalah gonjong
(atap lancip) pada rumah-rumah adat di Nusantara yang semakin mengecil,
jauh lebih kecil dibanding yang aslinya di Sumatera Barat atau tudung
kepala pada pakaian adat wanita yang semakin tumpul dibanding aslinya
yang runcing persis seperti tanduk, selain jumlah sunting (hiasan kepala
terbuat dari emas) yang semakin sedikit, bandingkan dengan aslinya,
menumpuk seperti sarang lebah.


Sarasah adalah tempat pemandian alam. Pada perkampungan Minangkabau
lama, tempat tersebut berada di sebelah Selatan (South) dari Istana
Pagaruyung.


Dari uraian dan tabel di atas jelaslah bahwa asal muasal bahasa
Minangkabau bukanlah dari bahasa Arab, karena banyak kemiripan dengan
bahasa Eropa Timur (Nordic) yang salah satu contoh peninggalan peradaban
dan bahasa Nordic itu sendiri bisa dilihat pada Inggris, Jerman dan
Prancis.


Kesusasteraan Arab Melayu (baik bahasa maupun tulisan) baru muncul
setelah dipengaruhi oleh masuknya peradaban dan ajaran Islam ke
Nusantara pada periode berikutnya (dimulai sekitar 600 Masehi).


Islam berusaha mengikis habis unsur-unsur Ibrani yang melekat pada
suku Minangkabau karena dalam kitab suci Al Quran Bani Israil kerap
identik dengan kemungkaran dan pembangkangan terhadap Tuhan.


Namun tak urung, Ibnu Athir, seorang sejarawan Islam, menyebut orang
Minangkabau dengan Bani Jawi (keturunan Yahudi atau Jewish).


Dan, istilah Java atau Pulau Jawa (tanah Jawi) itu mulanya ditujukan untuk Pulau Sumatera.


Setidaknya demikianlah gambaran yang diperoleh para pendatang Arab waktu itu ketika mendarat di Sumatera


Beberapa kata yang beranasir Ibrani hingga kini sulit dihilangkan
seperti surau (dari kata thorawah atau tempat membaca Taurat) dan Labay
dari kata rabai (english: rabi) serta Uda (Yehuda / Yuda).


Bedanya, sejak Islam berkembang di Sumatera, surau beralih fungsi
sebagai langgar atau mushola sementara gelar labay dipakaikan untuk
ustadz atau ulama meskipun gelar seperti buya / abuya (bapak) juga
digunakan.


Selain Arab, juga ada beberapa kata lain dari unsur Eropa yang lebih
tepat yaitu abbe (kepala biara) atau abbeye (tempat ibadah) dari bahasa
Prancis.


Artinya, kata buya lebih Aramia ketimbang Arabia, meski keduanya
berinduk pada unsur yang sama yakni Aramaic (Bahasa Aram yang dipakai
anak keturunan Nabi Ibrahim AS).


Sebelum periode tersebut (300 SM s/d 600 M), selama 9 abad bahasa
Minangkabau masih didominasi oleh pengaruh bahasa Eropa dan Mongolithic
(sekarang Mandarin/China).


Pengaruh unsur Mongolithic terllihat dari kata-kata seperti uni yang
dalam bahasa Mandarin berarti perempuan. Di Minang kini, kata itu
dipakai untuk sebutan kakak perempuan (sister).


Selain itu juga ada kata-kata seperti caia atau aia (cair, air) dari
kata chi atau panggilan waang (you) atau ang dan hang dari kata wang,
nama lazim pria Mongolithic.


Sebab utama terjadinya pembauran ras Eropa dengan perempuan China
tersebut adalah perkawinan massal yang digagas Iskandar antara
pasukannya yang didominasi suku-suku Ibrani (Yehuda) dengan perempuan
Mongolithic (sekarang China).


Pasca perkawinan, sebagian ikut misi Zulkarnain, sebagian menetap,
sebagian lain bermigrasi ke Kerala, India, via Tibet dan sebagian ada
yang menyeberang ke Okinawa menjadi cikal bakal orang Jepang sekarang,
dan sisanya menyebar ke wilayah-wilayah Indocina termasuk Kamboja.


Kini masih ditemukan di wilayah dekat jalur Mekong satu komunitas
kecil penganut adat matrilineal bernama Mosuo di propinsi Yunan dan
Sechuan, sekitar Danau Lugu yang berada di ketinggian hampir 3.000 meter
di atas permukaan laut.


Bedanya, Minangkabau selain matrilineal juga menerapkan matriarkat di
mana hak atas properti dan warisan jatuh di tangan perempuan dan
mengenyampingkan peran ayah karena hampir semua urusan dipegang oleh
saudara lelaki dari ibu.


Tapi dalam soal matriarkat (kewenangan perempuan) mungkin Kerala
lebih mirip dengan Minangkabau, meskipun dari sisi warisan, terutama
Kerala modern, jatuh ke tangan anak lelaki. Selain Kerala, beberapa
etnis lain di India sampai hari ini juga masih dikenal matrilineal.


Kisah Zulkarnain direkam jelas dalam Al Quran yang menggambarkan ia
sebagai arsitek yang dimintai tolong untuk mendirikan Tembok Besar
(Great Wall) China.


Periode dinasti yang berkuasa di China waktu tembok itu dibangun cocok dengan masa hidup Iskandar (356-323 SM).


Sebelum masuk ke China, Iskandar terlebih dulu menaklukkan Persia
(333 SM) ditandai dengan penyerahan wilayah Mesir oleh raja Persia
bernama Satrap kepada Zulkarnain.


Di situ, Zulkarnain membangun kota (untuk mengenang kejayaan
moyangnya bernama Nabi Yusuf AS di Mesir) dan diberi nama Iskandariyah
atau Alexandria, sehingga banyak etnis Yahudi yang tadinya warga Yunani
bermukim menjadi penduduk Mesir.


Mungkin karena adanya kisah dalam Al Quran itulah, kaum orientalis
seakan berpikir untuk mencoba melenyapkan sisi sejarah yang terkesan
membesarkan Islam pada figur Iskandar yang bergelar Zulkarnain.


Padahal, kecuali Muhammad (dari Ismail), semua nabi dari keturunan
Ibrahim, berasal dari etnis Bani Israil (Yakub) mulai dari Yusuf (Yahudi
masuk Mesir), Musa (Yahudi ke luar dari Mesir) sampai ke yang
berpredikat raja-raja seperti Daud dan Sulaiman sampai ke Zulkarnain
(Yahudi kembali ke Mesir) hingga Isa (Palestina).


Pada masa Rasulullah Muhammad SAW, Yahudi karena permusuhannya dengan
Muslim, diusir dari Makkah, namun masih boleh menempati Madinah. Tapi
setelah beliau wafat, Yahudi lambat laun hengkang dari Madinah menuju
Syria, Irak, Iran dan Palestina.


Dan di masa khalifah Usman, Palestina kembali direbut umat Islam dan
Yahudi kembali berdiaspora ke seluruh Eropa bahkan sampai ke China
sebelum akhirnya kembali ke Palestina setelah kejatuhan Turki oleh
tentara Eropa di bawah komando Inggris yang memberi hak kepada Israel
untuk mendirikan negara Zionis di Palestina.


Namun entah kenapa, sengaja atau tidak, fakta-fakta tentang
Zulkarnain sebagai Nabi tidak dijadikan magnitude oleh sejarawan Barat
terutama dari kelompok orientalis.


Sama halnya seperti penemuan benua Atlantis oleh Profesor Santos yang
diyakini adalah Nusantara, tapi ternyata tidak menimbulkan gaung besar
di kalangan ilmuwan Barat.


Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah penggunaan istilah
zulkarnain itu sendiri yang dalam bahasa Arab maupun Persia artinya
hampir sama yaitu, bertanduk dua.


Kata zul berarti definitif seperti pada kata 'the' (Inggris) atau al
(Arab), karan (crown) berarti mahkota atau tanduk dan ain berarti dua
atau sepasang.


Sejarawan menggambarkan kecenderungan Iskandar memilih tanduk-tanduk
yang lebih besar setiap kali berhasil menaklukkan suatu wilayah seperti
tanduk domba gunung dan kambing gurun. Ada juga kisah tentang tanduknya
yang patah.


Di akhir penaklukannya, Iskandar memilih tanduk kerbau, tanduk terbesar sebagai simbol pencapaian yang besar pula.


Simbol tanduk kerbau juga sebagai penghargaan kepada guru-guru
beliau, Aristoteles, Plato dan Socrates, yang mewasiatkan tentang benua
yang hilang (Atlantis) di mana dulu pernah hidup kaum yang menggunakan
ciri atau simbol berupa tanduk kerbau.


Satu artefak berupa koin yang dipakai di masa Iskandariyah (Mesir
pasca penaklukan Iskandar Zulkarnain) menggambarkan polemik tentang
tanduk tersebut.


Pada koin itu terlihat Iskandar memasang dua tanduk kambing gurun di sisi kanan dan kiri kepalanya.


Artefak itu menjelaskan bahwa penaklukan Mesir terjadi sebelum
Iskandar menaklukkan Persia dan China di mana ia mulai memakai tanduk
domba gunung, sebelum akhirnya memilih menetap di Sumatera dengan simbol
kerajaan berupa tanduk kerbau.


Selain itu, juga bisa dimaklumi bila di Minangkabau kuno, suami
memanggil istrinya dengan sebutan Uni sementara istri memanggil suaminya
dengan sebutan Uda (dari kata Yehuda).


Dalam peradaban moderen, kata uda dipakai untuk menyebut kakak lelaki
dan uni untuk kakak perempuan. Terjadi sedikit pergeseran makna di
situ, seiring berjalannya waktu.


Karena bahasa yang dipakai Raja Iskandar adalah Asyrian (bagian dari
Aramaic muda), maka dapat disimpulkan bahwa bahasa Minangkabau juga
termasuk kelompok Aramaic.


Di kalangan ahli bahasa kini lebih populer dengan istilah West
Semitic Language, namun yang paling familiar di telinga awam adalah
austronesia.


Bahwa kemudian Islam gelombang kedua masuk lewat kaum imigran dari
Gujarat dan Malayalam yang menandai kemunculan tulisan Arab Melayu
sekitar abad-13, tidak serta merta menghilangkan induk bahasa itu
sendiri, Minangkabau.


Menurut Tambo, Nabi Nuh menyuruh tiga anaknya untuk memimpin
ekspedisi peradaban dan pemukiman baru (taruko/track) masing-masing ke
Afrika, Eropa dan Asia.


Jadi tidaklah heran jika banyak kemiripan bahasa-bahasa purba antara
peradaban ketiga benua yang diwakili oleh Mesir, Mesopotamia dan India.


Hubungan itu bisa dilihat pada kata-kata seperti harakul, hercules
dan arga yang berarti gunung yang besar dan kokoh. Dalam bahasa
Indonesia dipakai kata argo.


Karena itu, perahu Nabi Nuh disebut juga dengan 'arch.'


Kerinduan bangsa Eropa terhadap peradaban tua (terutama Atlantis),
memunculkan satu disiplin ilmu yang disebut archeology yang kerjanya
menggali dan terus menggali.


Terobsesi oleh cerita tentang Atlantis menjadikan seorang Iskandar
menempuh perjalanan dari Barat ke Timur sampai akhirnya mendarat di Bumi
Nusantara yaitu Pulau Sumatera.


Dalam Al Quran benua Asia digambarkan sebagai 'lumpur hitam' (tafsiran jumhur ulama).


Kata asia itu sendiri berasal dari unsur Aramaic yang berarti berdebu
atau berlumpur. Pada tabel bisa dilihat kemiripan kata itu dengan asok
(Minangkabau) dan ash (Inggris).


Profil Iskandar seperti yang ditayangkan dalam filem Alexander
tersirat pembunuhan karakter karena dibumbui perilaku homoseksual.


Itu terjadi karena mereka lebih memandang Alexander sebagai figur
sejarah, bukan figur dogmatis reliji di mana ia berperan sebagai nabi
pembawa risalah Islam sekaligus raja di tiga benua.


Perilaku Helenistik Yunani baru muncul setelah sepeninggal beliau
pada 323 SM dan hanya bertahan sebentar karena seiring bangkitnya
imperium Romawi yang ditandai dengan takluknya Raja Philip V kepada
pasukan Romawi di Kynoskephalai pada 197 SM.


Jadi sangat tidak beralasan kalau Alexander dituduh sebagai pembawa pengaruh helenistik ke tanah Palestina.


Alexander, Raja sekaligus Nabi yang bergelar Zulkarnain (Si Dua
Tanduk) atau "Yang Bertanduk Dua" karena kata 'zul' juga berarti
posesif, dengan modal 'obsesi Atlantis' bisa menaklukkan tiga benua,
adalah prestasi terbesar dalam sejarah peradaban umat.


Hanya saja, masuknya Islam menjadikan sekalangan umat di Nusantara
merasa malu telah memiliki masa lalu terkait etnis Yahudi yang dikenal
sebagai kaum pembangkang.


Sehingga, muncullah dikotomi antara Bani Israil dan Yahudi. Padahal,
Yehuda adalah nama salah satu dari 12 anak Nabi Yakub AS yang bergelar
Israil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar