Diskusi yang dimoderatori Pemimpin Redaksi Jawa Pos Nur Wahid itu pun berlangsung gayeng dan sesekali diselingi canda yang mengundang gelak tawa. KH Said Aqil, yang mendapat kesempatan pertama berbicara, ternyata langsung membuka canda dengan menyebut Din Syamsuddin sebagai ketua para ulama (ketua Majelis Ulama Indonesia). ”Karena ketua ulama, maka tidak perlu memakai peci,” seloroh Said yang langsung disambut tawa peserta diskusi. Maklum, warga Muhammadiyah memang tidak fanatik dengan penggunaan peci.
Begitu juga sikap Din. Saat diberi kesempatan berbicara, dia tidak lupa menyelipkan sentilan untuk Said, yang dalam pemaparannya mengutip banyak dalil dan istilah bahasa Arab. ”Maaf, saya tak banyak bicara dalil-dalil atau bahasa Arab. Sebab, Jawa Pos juga pasti tidak mengutipnya,” ujar Din, juga disambut tawa para peserta.
Di luar saling lempar canda itu, kedua pembicara tetap dengan gamblang mengupas tema muktamar masing-masing. Said mengungkapkan, Islam Nusantara yang menjadi tema Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada 1–5 Agustus 2015 sebenarnya bukan hal baru. Tema Islam Nusantara diambil karena Islam di seantero Indonesia memiliki banyak kekhususan, ciri, dan tipologi.
Menurut dia, Islam di Indonesia ramah dan santun. Perbedaannya jauh dengan Islam yang berkembang di Arab, yang selalu lekat dengan kekerasan. Jika ada perbedaan pendapat, langsung disikapi dengan mengacungkan senjata.
Dia menjelaskan, Islam Nusantara adalah Islam yang berakulturasi dengan budaya. Sebab, ketika Islam datang, banyak budaya dan tradisi yang sedang berkembang di Indonesia. Tradisi itulah yang tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan Islam. ”Ada budaya yang diberi nilai-nilai Islam untuk sarana dakwah,” katanya.
Sementara itu, Din menuturkan bahwa semangat Islam Berkemajuan yang akan dibawa ke Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar pada 3–7 Agustus 2015 dilatarbelakangi pemikiran bahwa Islam memiliki watak yang universal. Masalah-masalah yang diatasi tidak hanya bernuansa lokal, tapi lebih ke arah yang lebih luas dan universal. Karena itulah, umat Islam tidak bisa terpaku pada dimensi ruang dan waktu. ”Sekarang seharusnya lebih menekankan dimensi ketiga, yaitu dimensi gerak,” katanya. Menurut Din, jika memilih dimensi gerak, ada kemungkinan untuk melakukan lompatan. Dengan dasar itulah, Muhammadiyah kali ini mengambil tema dasar Islam Berkemajuan.
Din juga mengapresiasi kiprah Nahdlatul Ulama (NU) yang berjuang dan tumbuh bersama tradisi serta budaya masyarakat Indonesia. Muhammadiyah, menurut dia, mengambil peran berbeda dengan pemikiran-pemikiran yang beradaptasi dan mengimbangi perkembangan zaman. ”Tidak ada yang perlu dirisaukan dengan perbedaan semacam itu. Ini adalah saling melengkapi,” ujarnya.
Diskusi kemarin juga menghadirkan Haryadi, pengamat politik dari Universitas Airlangga. Dia menilai, dalam muktamar kali ini, NU dan Muhammadiyah sama-sama melihat keindonesiaan. Hanya, konsepnya berbeda. Salah satunya adalah landasan cara pandang dunia. Meski begitu, NU dan Muhammadiyah sepakat untuk saling mengisi dan berkontribusi terhadap negara.
Haryadi justru melontarkan pertanyaan, apakah tidak ada lagi problem di internal kedua organisasi sehingga tema cenderung ke luar. Misalnya, NU yang mengambil tema Nusantara dan Muhammadiyah yang ingin menjangkau wilayah yang lebih luas. Pertanyaan itu bisa dijawab dengan berkiprah di luar, tapi tetap memperhatikan ke dalam. ”Yang terpenting, ke dalam dan ke luar seimbang,” jelasnya.
Meski berlangsung singkat, acara tersebut menarik perhatian banyak kalangan. Terbukti, ruangan yang disediakan tidak bisa memuat semua peminat diskusi. Mereka rela berdiri selama acara berlangsung hanya untuk mengikuti diskusi tersebut. Jawa Pos juga masih akan menghadirkan tulisan berseri tentang pemikiran yang muncul dalam diskusi tersebut mulai besok. (eko/fim/c11/fat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar