“Korupsi sudah membudaya di antara bangsa Indonesia”. Itulah kata-kata
profetis dari Bung Hatta salah satu di antara proklamator Kemerdekaan
Indonesia, yang ternyata benar. Kalau diamati secara cermat, korupsi
terjadi di semua lapisan masyarakat, di segala bidang kehidupan. Korupsi
bukan dianggap binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang di negeri
ini. Begitupun masalah pemberantasan korupsi yang sampai saat ini tidak
kunjung padam, laksana nyala api yang sumbernya berasal dari perut
bumi. Pendek kata, korupsi masih menjadi potret buram bangsa ini.
Mengupas tuntas permasalahan korupsi mungkin tepat jika dikatakan
bagaikan kita berusaha untuk menegakkan benang basah.
Celakanya,
budaya korupsi justru terjadi di negara kita, yang konon rakyatnya
mengaku paling agamis. Jika demikian, mungkinkah terjadi kecelakaan
sejarah?. Karena jika warga Indonesia agamis, maka seyogyanya mereka
santun beradab, keadilan sosial terjamin, dan yang terpenting korupsi
tidak menjadi bagian budaya bangsa ini.
Tapi tampaknya ketaatan
beragama dan berketuhanan tidak selalu termanifestasi dalam kesatuan
sebagai manusia yang beradab, jujur dalam berdemokrasi, serta tidak
menghalalkan segala cara untuk memupuk kekayaan, termasuk korupsi.
Tanggung jawab pemeluk agama
Kalau korupsi masih saja menjadi bagian budaya bangsa ini, sesungguhnya
yang gagal bukanlah Pancasila. Tidak mustahil yang gagal justru
pengamalan agama bangsa ini. Karena agama manapun, menurut hemat
penulis, mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menyelamatkan umatnya
dari bahaya korupsi: keterpurukan, penderitaan dan kemiskinan. Pada aras
ini, sesungguhnya agama-agama memiliki common platform untuk melakukan
kontrol efektif atas bentuk-bentuk ketidakadilan.
Larangan
korupsi memang dengan mudah ditemukan dalam ajaran kitab-kitab suci
semua agama, namun dalam kehidupan nyata memang jarang dihayati,
diimplementasikan, apalagi hendak dibumikan oleh pemeluk-pemeluknya.
Para agamawan meski banyak yang fasih dan gemar menyuarakan bahaya dan
larangan korupsi sebagai “wirid” harian dan tema ceramahnya, masih
banyak pula yang belum bisa mentransformasikan soal itu dalam kehidupan
mereka sehari-hari guna membentuk moralitas publik yang menjunjung
prinsip keadilan sosial.
Semestinya para agamawan berfungsi dan
berdiri paling depan dalam mengusung semangat keadilan sosial dan usaha
pemberantasan korupsi, melakukan protes sosial pada pemerintah yang
korup. Perlawanan terhadap korupsi harusnya jangan dijadikan tema utama
ceramah mereka saja, melainkan harus dibumikan dalam kehidupan yang
lebih nyata.
Agama dan agamawan harus betul-betul mendukung
suasana yang kondusif bagi tegaknya keadilan sosial dan usaha-usaha
pemberantasan korupsi. Kolusi pengusaha dan penguasa yang merugikan
rakyat jelata harus tak jemu dikecam oleh para pemuka agama. Jangan
sampai ada tokoh agama dan pengikutnya merasa diri paling peduli dan
teguh menyuarakan keadilan sosial dan pemberantasan korupsi, sementara
menjadi pelegitimasi dan memberi stempel terhadap kebijakan-kebijakan
yang korup.
Inilah yang penting: agama-agama jangan sampai
terjebak pada kesadaran akan kebenaran terhadap ajaran semata
(ortodoksi) tapi mengabaikan realitas sosial. Bukankah agama-agama
harusnya melangkah pada upaya memahami realitas sembari melakukan
aksi-aksi pembebasan (ortopraksi), utamanya dalam rangka menyelamatkan
umat dari penderitaan akibat budaya korupsi.
Agama harusnya
dipahami sebagai peta penunjuk jalan menuju kebahagiaan hidup menuju
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, sehingga dalam keadaan apapun
dan dimanapun kita selalu menjunjung nilai-nilai agama yang kita anut.
Keseharian kita adalah tempat ibadah kita yang sebenarnya. Seperti yang
kita tahu, korupsi mengakibatkan penderitaan dan kemiskinan
berkepanjangan di negeri ini. Kemakmuran sebuah bangsa tentu bukanlah
dilihat dari jumlah milyuner yang dimiliki, melainkan dari ketiadaan
bencana kelaparan di masyarakatnya.
Begitupula dalam sejarahnya,
agama yang bisa bertahan dan dianut oleh penganut yang berjumlah besar
adalah agama yang merakyat dan membela hak-hak rakyat untuk hidup
sejahtera.
Kesatupaduan aparat hukum, agamawan, dan pemeluk agama
Menurut penulis, praktik korupsi akan hilang jika ada tindakan
konsisten dan tegas, serta semangat yang total dari aparat hukum,
agamawan, dan masyarakat pemeluk agama. Kesatupaduan aparat hukum,
agamawan, dan masyarakat pemeluk agama dalam memerangi korupsi akan
sangat berpengaruh terhadap hasil upaya pemberantasan korupsi dan
pencegahan korupsi. Karena itu, kerjasama antara komponen-komponen ini,
terutama saat ini, adalah sebuah keniscayaan.
Selama ini, tidak
banyak tindakan yang memadai dari aparat penegak hukum dalam memberantas
korupsi. Demikian pula para agamawan dan masyarakat pemeluk agama,
menurut penulis tidak terlalu peduli dengan isu-isu pemberantasan
korupsi, jika dibandingkan dengan isu-isu lain yang mereka anggap
menarik untuk diaspirasikan seperti: krisis politik timur tengah,
pornografi, dan lain-lain. Semuanya itu memang penting untuk
diaspirasikan, tapi jangan sampai melupakan tanggung jawab kita sebagai
pemeluk agama di negeri ini, bersama-sama aparat hukum, ikut mendukung
dan turut aktif dalam pemberantasan korupsi.**
profetis dari Bung Hatta salah satu di antara proklamator Kemerdekaan
Indonesia, yang ternyata benar. Kalau diamati secara cermat, korupsi
terjadi di semua lapisan masyarakat, di segala bidang kehidupan. Korupsi
bukan dianggap binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang di negeri
ini. Begitupun masalah pemberantasan korupsi yang sampai saat ini tidak
kunjung padam, laksana nyala api yang sumbernya berasal dari perut
bumi. Pendek kata, korupsi masih menjadi potret buram bangsa ini.
Mengupas tuntas permasalahan korupsi mungkin tepat jika dikatakan
bagaikan kita berusaha untuk menegakkan benang basah.
Celakanya,
budaya korupsi justru terjadi di negara kita, yang konon rakyatnya
mengaku paling agamis. Jika demikian, mungkinkah terjadi kecelakaan
sejarah?. Karena jika warga Indonesia agamis, maka seyogyanya mereka
santun beradab, keadilan sosial terjamin, dan yang terpenting korupsi
tidak menjadi bagian budaya bangsa ini.
Tapi tampaknya ketaatan
beragama dan berketuhanan tidak selalu termanifestasi dalam kesatuan
sebagai manusia yang beradab, jujur dalam berdemokrasi, serta tidak
menghalalkan segala cara untuk memupuk kekayaan, termasuk korupsi.
Tanggung jawab pemeluk agama
Kalau korupsi masih saja menjadi bagian budaya bangsa ini, sesungguhnya
yang gagal bukanlah Pancasila. Tidak mustahil yang gagal justru
pengamalan agama bangsa ini. Karena agama manapun, menurut hemat
penulis, mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menyelamatkan umatnya
dari bahaya korupsi: keterpurukan, penderitaan dan kemiskinan. Pada aras
ini, sesungguhnya agama-agama memiliki common platform untuk melakukan
kontrol efektif atas bentuk-bentuk ketidakadilan.
Larangan
korupsi memang dengan mudah ditemukan dalam ajaran kitab-kitab suci
semua agama, namun dalam kehidupan nyata memang jarang dihayati,
diimplementasikan, apalagi hendak dibumikan oleh pemeluk-pemeluknya.
Para agamawan meski banyak yang fasih dan gemar menyuarakan bahaya dan
larangan korupsi sebagai “wirid” harian dan tema ceramahnya, masih
banyak pula yang belum bisa mentransformasikan soal itu dalam kehidupan
mereka sehari-hari guna membentuk moralitas publik yang menjunjung
prinsip keadilan sosial.
Semestinya para agamawan berfungsi dan
berdiri paling depan dalam mengusung semangat keadilan sosial dan usaha
pemberantasan korupsi, melakukan protes sosial pada pemerintah yang
korup. Perlawanan terhadap korupsi harusnya jangan dijadikan tema utama
ceramah mereka saja, melainkan harus dibumikan dalam kehidupan yang
lebih nyata.
Agama dan agamawan harus betul-betul mendukung
suasana yang kondusif bagi tegaknya keadilan sosial dan usaha-usaha
pemberantasan korupsi. Kolusi pengusaha dan penguasa yang merugikan
rakyat jelata harus tak jemu dikecam oleh para pemuka agama. Jangan
sampai ada tokoh agama dan pengikutnya merasa diri paling peduli dan
teguh menyuarakan keadilan sosial dan pemberantasan korupsi, sementara
menjadi pelegitimasi dan memberi stempel terhadap kebijakan-kebijakan
yang korup.
Inilah yang penting: agama-agama jangan sampai
terjebak pada kesadaran akan kebenaran terhadap ajaran semata
(ortodoksi) tapi mengabaikan realitas sosial. Bukankah agama-agama
harusnya melangkah pada upaya memahami realitas sembari melakukan
aksi-aksi pembebasan (ortopraksi), utamanya dalam rangka menyelamatkan
umat dari penderitaan akibat budaya korupsi.
Agama harusnya
dipahami sebagai peta penunjuk jalan menuju kebahagiaan hidup menuju
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, sehingga dalam keadaan apapun
dan dimanapun kita selalu menjunjung nilai-nilai agama yang kita anut.
Keseharian kita adalah tempat ibadah kita yang sebenarnya. Seperti yang
kita tahu, korupsi mengakibatkan penderitaan dan kemiskinan
berkepanjangan di negeri ini. Kemakmuran sebuah bangsa tentu bukanlah
dilihat dari jumlah milyuner yang dimiliki, melainkan dari ketiadaan
bencana kelaparan di masyarakatnya.
Begitupula dalam sejarahnya,
agama yang bisa bertahan dan dianut oleh penganut yang berjumlah besar
adalah agama yang merakyat dan membela hak-hak rakyat untuk hidup
sejahtera.
Kesatupaduan aparat hukum, agamawan, dan pemeluk agama
Menurut penulis, praktik korupsi akan hilang jika ada tindakan
konsisten dan tegas, serta semangat yang total dari aparat hukum,
agamawan, dan masyarakat pemeluk agama. Kesatupaduan aparat hukum,
agamawan, dan masyarakat pemeluk agama dalam memerangi korupsi akan
sangat berpengaruh terhadap hasil upaya pemberantasan korupsi dan
pencegahan korupsi. Karena itu, kerjasama antara komponen-komponen ini,
terutama saat ini, adalah sebuah keniscayaan.
Selama ini, tidak
banyak tindakan yang memadai dari aparat penegak hukum dalam memberantas
korupsi. Demikian pula para agamawan dan masyarakat pemeluk agama,
menurut penulis tidak terlalu peduli dengan isu-isu pemberantasan
korupsi, jika dibandingkan dengan isu-isu lain yang mereka anggap
menarik untuk diaspirasikan seperti: krisis politik timur tengah,
pornografi, dan lain-lain. Semuanya itu memang penting untuk
diaspirasikan, tapi jangan sampai melupakan tanggung jawab kita sebagai
pemeluk agama di negeri ini, bersama-sama aparat hukum, ikut mendukung
dan turut aktif dalam pemberantasan korupsi.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar