Rabu, 29 Juli 2015

Dialog Pra Muktamar NU-Muhammadiyah (Part 1)

SURABAYA – Diskusi Pra Muktamar NU-Muhammadiyah yang dihelat Jawa Pos
di Graha Pena Surabaya kemarin menghadirkan pemandangan dan nuansa
langka. Massa dua ormas Islam terbesar di Indonesia itu, bahkan pucuk
pimpinan masing-masing, berkumpul dalam satu ruangan. Ketua Umum PB NU
KH Said Aqil Siradj dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin pun sharing tentang visi sosial serta keagamaan organisasi masing-masing dalam muktamar yang akan mereka gelar.

Diskusi yang dimoderatori Pemimpin Redaksi Jawa Pos Nur Wahid itu pun
berlangsung gayeng dan sesekali diselingi canda yang mengundang gelak
tawa. KH Said Aqil, yang mendapat kesempatan pertama berbicara, ternyata
langsung membuka canda dengan menyebut Din Syamsuddin sebagai ketua
para ulama (ketua Majelis Ulama Indonesia). ”Karena ketua ulama, maka
tidak perlu memakai peci,” seloroh Said yang langsung disambut tawa
peserta diskusi. Maklum, warga Muhammadiyah memang tidak fanatik dengan
penggunaan peci.

Begitu juga sikap Din. Saat diberi kesempatan berbicara, dia tidak
lupa menyelipkan sentilan untuk Said, yang dalam pemaparannya mengutip
banyak dalil dan istilah bahasa Arab. ”Maaf, saya tak banyak bicara
dalil-dalil atau bahasa Arab. Sebab, Jawa Pos juga pasti tidak mengutipnya,” ujar Din, juga disambut tawa para peserta.

Di luar saling lempar canda itu, kedua pembicara tetap dengan
gamblang mengupas tema muktamar masing-masing. Said mengungkapkan, Islam
Nusantara yang menjadi tema Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada 1–5
Agustus 2015 sebenarnya bukan hal baru. Tema Islam Nusantara diambil
karena Islam di seantero Indonesia memiliki banyak kekhususan, ciri, dan
tipologi.

Menurut dia, Islam di Indonesia ramah dan santun. Perbedaannya jauh
dengan Islam yang berkembang di Arab, yang selalu lekat dengan
kekerasan. Jika ada perbedaan pendapat, langsung disikapi dengan
mengacungkan senjata.

Dia menjelaskan, Islam Nusantara adalah Islam yang berakulturasi
dengan budaya. Sebab, ketika Islam datang, banyak budaya dan tradisi
yang sedang berkembang di Indonesia. Tradisi itulah yang tidak bisa
dipisahkan dengan perkembangan Islam. ”Ada budaya yang diberi
nilai-nilai Islam untuk sarana dakwah,” katanya.

Sementara itu, Din menuturkan bahwa semangat Islam Berkemajuan yang
akan dibawa ke Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar pada 3–7 Agustus
2015 dilatarbelakangi pemikiran bahwa Islam memiliki watak yang
universal. Masalah-masalah yang diatasi tidak hanya bernuansa lokal,
tapi lebih ke arah yang lebih luas dan universal. Karena itulah, umat
Islam tidak bisa terpaku pada dimensi ruang dan waktu. ”Sekarang
seharusnya lebih menekankan dimensi ketiga, yaitu dimensi gerak,”
katanya. Menurut Din, jika memilih dimensi gerak, ada kemungkinan untuk
melakukan lompatan. Dengan dasar itulah, Muhammadiyah kali ini mengambil
tema dasar Islam Berkemajuan.

Din juga mengapresiasi kiprah Nahdlatul Ulama (NU) yang berjuang dan
tumbuh bersama tradisi serta budaya masyarakat Indonesia. Muhammadiyah,
menurut dia, mengambil peran berbeda dengan pemikiran-pemikiran yang
beradaptasi dan mengimbangi perkembangan zaman. ”Tidak ada yang perlu
dirisaukan dengan perbedaan semacam itu. Ini adalah saling melengkapi,”
ujarnya.

Diskusi kemarin juga menghadirkan Haryadi, pengamat politik dari
Universitas Airlangga. Dia menilai, dalam muktamar kali ini, NU dan
Muhammadiyah sama-sama melihat keindonesiaan. Hanya, konsepnya berbeda.
Salah satunya adalah landasan cara pandang dunia. Meski begitu, NU dan
Muhammadiyah sepakat untuk saling mengisi dan berkontribusi terhadap
negara.

Haryadi justru melontarkan pertanyaan, apakah tidak ada lagi problem
di internal kedua organisasi sehingga tema cenderung ke luar. Misalnya,
NU yang mengambil tema Nusantara dan Muhammadiyah yang ingin menjangkau
wilayah yang lebih luas. Pertanyaan itu bisa dijawab dengan berkiprah di
luar, tapi tetap memperhatikan ke dalam. ”Yang terpenting, ke dalam dan
ke luar seimbang,” jelasnya.

Meski berlangsung singkat, acara tersebut menarik perhatian banyak
kalangan. Terbukti, ruangan yang disediakan tidak bisa memuat semua
peminat diskusi. Mereka rela berdiri selama acara berlangsung hanya
untuk mengikuti diskusi tersebut. Jawa Pos juga masih akan menghadirkan tulisan berseri tentang pemikiran yang muncul dalam diskusi tersebut mulai besok. (eko/fim/c11/fat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar